Suara.com - Gelombang intoleransi kembali menghantam fondasi kebangsaan. Sebuah video yang merekam sekelompok orang membubarkan paksa kegiatan ibadah jemaat Kristen di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, viral dan memantik amarah publik.
Insiden ini menambah panjang daftar luka dalam kerukunan umat beragama di Indonesia dan mengundang reaksi keras dari berbagai tokoh, salah satunya adalah pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman, atau yang populer disapa Gus Miftah.
Gus Miftah menyoroti betapa berbahayanya tindakan main hakim sendiri, terutama jika menyangkut isu sensitif seperti keyakinan dan ibadah.
Baginya, tidak ada pembenaran apa pun untuk aksi semacam itu di negara hukum seperti Indonesia.
"Apapun dalihnya, aksi main hakim sendiri sama sekali tidak bisa dibenarkan. Ini bukan lagi soal suka atau tidak suka, tapi tentang kebebasan menjalankan keyakinan yang dilindungi oleh konstitusi kita, UUD 1945," kata Gus Miftah.
Lebih jauh, ia membantah narasi yang dibangun oleh sebagian pelaku persekusi bahwa bangunan tersebut adalah gereja ilegal.
Menurut Gus Miftah, alasan tersebut seringkali hanya menjadi tameng untuk memvalidasi tindakan anarkis.
"Klaim bahwa bangunan itu adalah gereja ilegal yang dijadikan pembenaran untuk merusak, itu jelas tidak sesuai dengan fakta di lapangan," ujarnya, menyiratkan adanya misinformasi yang sengaja diembuskan.
Data dari Setara Institute pun seolah mengamini kekhawatiran ini. Laporan mereka menunjukkan tren peningkatan kasus intoleransi yang menargetkan kelompok minoritas agama dalam beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: Letkol Teddy Indra Wijaya Kunjungi Gus Miftah Jam 1 Dini Hari, Ada Urusan Apa?
Ini adalah alarm keras bahwa toleransi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum usai bagi bangsa ini.
Regulasi vs. Hak Beribadah: Mencari Titik Tengah
Gus Miftah menekankan adanya tarik-menarik antara hak beribadah yang fundamental dengan regulasi pendirian rumah ibadah yang seringkali menjadi ganjalan.
Di satu sisi, Pasal 29 UUD 1945 secara eksplisit menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaannya.
Namun di sisi lain, implementasinya di lapangan kerap terbentur oleh miskomunikasi dan ketidaktahuan masyarakat mengenai prosedur perizinan.
"Masyarakat kita terkadang gampang sekali salah paham. Begitu melihat ada kegiatan ibadah di lokasi tertentu, langsung muncul asumsi liar kalau tempat itu ilegal dan tidak berizin," ujar.
Kondisi ini, menurutnya, menuntut adanya peran aktif dari pemerintah dan tokoh masyarakat untuk memberikan edukasi.
Proses birokrasi yang rumit dan berpotensi diskriminatif harus dipangkas. Ia mendorong adanya sebuah sistem perizinan yang lebih adil dan transparan bagi semua agama.
"Sudah saatnya proses perizinan tempat ibadah dibuat transparan, tanpa diskriminasi. Harus ada mekanisme pengajuan keberatan yang jelas dan benar-benar efektif, bukan sekadar formalitas," imbuh Gus Miftah.
Dialog Adalah Jalan Keluar, Bukan Kekerasan
Di tengah panasnya situasi, Gus Miftah menawarkan solusi yang menyejukkan: dialog. Baginya, kekerasan dan intimidasi hanya akan melahirkan lingkaran setan kebencian yang tidak berujung.
Penyelesaian konflik horizontal semacam ini harus melibatkan kepala dingin dan hati yang terbuka.
"Solusi untuk luka seperti ini bukanlah kekerasan atau intimidasi. Jalan keluarnya adalah duduk bersama, berdialog, dan bekerja sama dengan semua pihak yang ada," tuturnya.
Dia menyerukan agar pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama lintas iman, dan masyarakat dapat bersinergi untuk merumuskan solusi yang adil dan berkelanjutan.
Dialog adalah ruang aman bagi setiap pihak untuk menyuarakan kekhawatiran dan kebutuhannya, sehingga tidak ada lagi asumsi yang berkembang liar tanpa klarifikasi.
"Dengan dialog, kolaborasi, dan rasa keadilan, kita tidak hanya akan memecahkan masalah di depan mata, tetapi juga merajut kembali kohesi sosial dan harmoni yang sempat terkoyak," ucapnya penuh harap.
Untuk memperkuat argumennya, Gus Miftah mengutip pemikiran Milad Hanna, seorang penulis Kristen Koptik dari Mesir.
Dalam bukunya Qabulul Akhar (Menerima yang Lain), Hanna menggagas pentingnya membentuk "sentimen kolektif-sosial".
Sentimen ini mendorong masyarakat untuk keluar dari sekat-sekat identitas kelompok yang sempit dan merangkul persaudaraan yang lebih luas yaitu persaudaraan kemanusiaan.
Gus Miftah percaya bahwa pendidikan dan pemberdayaan masyarakat menjadi fondasi untuk menumbuhkan empati dan kesadaran akan pentingnya toleransi.
Melalui pemahaman bersama, insiden menyakitkan seperti di Sukabumi diharapkan tidak akan pernah terulang lagi.
"Ayo, mari kita bahu-membahu membangun masyarakat yang lebih toleran, damai, dan inklusif untuk kita semua, tanpa terkecuali," katanya.