Wacana ini muncul pasca-kontroversi keputusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskannya sebagai calon wakil presiden meski belum cukup umur saat mendaftar.
Sejumlah netizen juga mengaitkan insiden tersebut dengan isu etika yang membayangi jabatan Gibran.
Sejak keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 keluar, sorotan terhadap legitimasi Gibran memang tak pernah surut.
Putusan itu memungkinkan Gibran mencalonkan diri sebagai wakil presiden meski belum berusia 40 tahun, sebagaimana diatur sebelumnya.
Banyak pihak menilai putusan tersebut cacat secara etika dan melanggar semangat konstitusi.
Forum Purnawirawan Prajurit TNI bahkan telah melayangkan surat resmi tuntutan pemakzulan kepada pimpinan DPR dan MPR.
Mereka menilai proses pencalonan Gibran sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip kepantasan dan etika publik.
Surat tersebut sudah diterima oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dan pimpinan MPR, tetapi hingga kini belum ada langkah konkret yang diambil parlemen.
Puan sendiri menyatakan bahwa pihaknya masih akan mempelajari isi surat tersebut dan memprosesnya sesuai ketentuan, sementara MPR menyebut perlunya kajian internal terlebih dahulu.
Baca Juga: Kurikulum AI: Lompatan Pendidikan atau Jurang Ketimpangan Baru?
Respons yang terkesan hati-hati itu justru memicu keraguan publik, apakah wacana pemakzulan akan benar-benar dijalankan atau hanya menjadi isu sesaat.
Di tengah tekanan tersebut, Gibran terus menjalankan tugas-tugas protokoler dan simbolik sebagai wakil presiden.
Namun sebagaimana terlihat dalam insiden di Sleman, setiap gerakan dan tindakannya kini tak luput dari penilaian publik.
Bahkan celurit copot pun bisa menjadi bahan kritikan pedas yang menggambarkan krisis kepercayaan yang lebih dalam.