Suara.com - Momen tak terduga terjadi saat Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, melakukan panen tebu di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa, 8 Juli 2025.
Panen tersebut merupakan bagian dari kegiatan bertajuk "Rembuk Tani Bersama Wakil Presiden RI Menuju Swasembada Gula Nasional di Provinsi D.I. Yogyakarta."
Acara digelar di lahan milik TNI AU, tepatnya di wilayah Lanud Adisutjipto Sleman, yang selama ini dikelola Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) DIY. Lahan tersebut memiliki luas mencapai 40,5 hektare.
Dalam kesempatan itu, Gibran menyampaikan target pemerintah untuk mewujudkan swasembada gula konsumsi pada 2026 dan swasembada penuh paling lambat tahun 2028.
Namun perhatian peserta acara dan publik luas justru beralih saat Gibran turun langsung ke ladang tebu.
Saat mencoba memotong batang tebu menggunakan celurit, alat yang dipegangnya tiba-tiba copot dari gagangnya.
Ada pula laporan menyebutkan bahwa sabit tersebut patah. Gibran pun terlihat sedikit kaget dan kewalahan.
Tak butuh waktu lama, Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang mengawalnya segera bertindak cepat, menggantikan celurit yang rusak dengan yang baru.
Beberapa anggota TNI dan Polri juga turut membantu memastikan kelancaran acara.
Baca Juga: Kurikulum AI: Lompatan Pendidikan atau Jurang Ketimpangan Baru?
Momen tersebut terekam dalam sejumlah video dan langsung menyebar luas di media sosial. Reaksi netizen pun bermunculan dan mayoritas bernada satir.
Banyak yang menilai kejadian tersebut sebagai "pertanda" bahwa Gibran tengah berada di bawah tekanan, bukan hanya secara teknis, tapi juga secara politis.
Beberapa komentar netizen menyebut insiden itu sebagai sinyal simbolik. "Tanda alam tidak merestui," tulis seorang netizen.
"Celurit aja nggak mau kerjasama, apalagi rakyat," komentar lainnya.
Ada juga yang menyinggung soal keahlian Gibran di lapangan, "Pencitraan juga butuh latihan, Mas."

"Baru celuritnya yang copot, sebentar lagi jabatannya," sindir yang lain mengacu pada meningkatnya wacana pemakzulan terhadap Gibran.
Wacana ini muncul pasca-kontroversi keputusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskannya sebagai calon wakil presiden meski belum cukup umur saat mendaftar.
Sejumlah netizen juga mengaitkan insiden tersebut dengan isu etika yang membayangi jabatan Gibran.
Sejak keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 keluar, sorotan terhadap legitimasi Gibran memang tak pernah surut.
Putusan itu memungkinkan Gibran mencalonkan diri sebagai wakil presiden meski belum berusia 40 tahun, sebagaimana diatur sebelumnya.
Banyak pihak menilai putusan tersebut cacat secara etika dan melanggar semangat konstitusi.
Forum Purnawirawan Prajurit TNI bahkan telah melayangkan surat resmi tuntutan pemakzulan kepada pimpinan DPR dan MPR.
Mereka menilai proses pencalonan Gibran sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip kepantasan dan etika publik.
Surat tersebut sudah diterima oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dan pimpinan MPR, tetapi hingga kini belum ada langkah konkret yang diambil parlemen.
Puan sendiri menyatakan bahwa pihaknya masih akan mempelajari isi surat tersebut dan memprosesnya sesuai ketentuan, sementara MPR menyebut perlunya kajian internal terlebih dahulu.
Respons yang terkesan hati-hati itu justru memicu keraguan publik, apakah wacana pemakzulan akan benar-benar dijalankan atau hanya menjadi isu sesaat.
Di tengah tekanan tersebut, Gibran terus menjalankan tugas-tugas protokoler dan simbolik sebagai wakil presiden.
Namun sebagaimana terlihat dalam insiden di Sleman, setiap gerakan dan tindakannya kini tak luput dari penilaian publik.
Bahkan celurit copot pun bisa menjadi bahan kritikan pedas yang menggambarkan krisis kepercayaan yang lebih dalam.