Pernyataan bahwa ada dua perempuan lain yang mengaku mengalami nasib serupa—dihamili oleh DJ Panda—adalah point of no return.
Ini adalah pukulan yang paling merusak karena ia mengubah narasi secara fundamental.
Ini bukan lagi soal satu hubungan toksik atau sebuah "kesalahan" dalam satu kasus. Tudingan adanya tiga korban (termasuk Erika) membentuk sebuah dugaan pola perilaku predatoris berantai.
Label yang melekat padanya kini bergeser drastis di mata publik: dari "mantan yang tidak bertanggung jawab" menjadi "terduga predator serial".
Tuduhan ini menghapus semua kemungkinan keraguan dan membingkai seluruh perilakunya dalam cahaya yang jauh lebih gelap dan terencana.
Bagi dunia bisnis yang dingin dan penuh perhitungan, tuduhan terbaru ini bisa jadi vonis mati.
DJ Panda kini telah menjadi apa yang disebut sebagai "aset beracun" (toxic asset). Tidak ada lagi promotor, sponsor, atau merek yang berani mengasosiasikan diri mereka dengannya.
Risikonya terlalu besar. Menampilkan DJ Panda di sebuah acara kini bukan hanya berisiko sepi penonton, tetapi juga berisiko mengundang protes, boikot, dan merusak citra merek mereka secara permanen.
Apakah tamat sudah? Semua bukti menunjukkan ke arah sana.
Baca Juga: Tangisan DJ Panda Minta Maaf ke Erika Carlina Dicemooh: Jangan Pura-Pura Nyedot Ingus
Dari guncangan finansial, kegagalan komunikasi fatal, hingga tudingan pola perilaku yang mengerikan, semua elemen telah bersatu untuk menciptakan badai sempurna yang menghancurkan sebuah karier.
Di era digital, jejak skandal seperti ini akan abadi. Pertanyaannya bukan lagi apakah karier DJ Panda bisa diselamatkan, melainkan seberapa dalam reruntuhan citranya akan terkubur.
Untuk saat ini, panggungnya gelap, musiknya telah berhenti, dan yang tersisa hanyalah keheningan di tengah puing-puing nama besar yang kini telah hancur menjadi abu.