Suara.com - Dalam setiap kasus artis respons standar terhadap sebuah skandal biasanya terbagi menjadi beberapa pilihan. Darimenyangkal habis-habisan, merilis permintaan maaf yang dirancang oleh tim PR, atau memainkan kartu korban.
Namun berbeda dengan Erika Carlina, di tengah badai hujatan soal kehamilannya, dia memilih untuk merobek manual itu dan menulis babnya sendiri.
Strateginya bukan perlawanan, melainkan sebuah penerimaan radikal sebuah langkah brilian yang secara efektif melucuti senjata para penghujatnya.
Ini bukan kisah tentang seorang korban yang meminta belas kasihan, atau seorang penjahat yang tertangkap basah.
Ini adalah sebuah masterclass dalam kecerdasan emosional, di mana Erika menunjukkan cara untuk memegang kesalahannya sebagai bentuk kekuatan tertinggi.
![Erika Carlina mendatangi Polda Metro Jaya, Kamis (24/7/2025) malam ini. Kedatangan Erika terkait laporannya yang mengaku merasa terancam oleh seseorang. [Adiyoga Priyambodo/Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/24/86279-erika-carlina.jpg)
Ketika seorang penggemar menyarankannya untuk menjauhi media sosial, jawaban Erika menjadi inti dari strateginya.
"Nggak apa-apa. Dosa ku banyak, lebih dari itu. Apa pun resikonya aku terima," tulisnya dalam InstaStory belum lama ini.
Ini bukan pembelaan diri, melainkan sebuah deklarasi kepemilikan mutlak atas hidup dan pilihannya. Secara psikologis, strategi ini brilian karena merusak siklus kebencian.
Para penghujat atau haters di dunia maya berkembang biak dari reaksi. Mereka mendambakan pertengkaran, tangisan, atau klarifikasi panik yang bisa mereka cemooh lebih jauh.
Baca Juga: Selain Ancam Hancurkan Karier Erika Carlina, DJ Panda Juga Sebut Mantan Pacar Psikopat
Mereka ingin merasa superior secara moral dengan menunjukkan kesalahan orang lain. Namun, apa yang terjadi ketika target mereka justru setuju, Ketika Erika mengatakan, "Ya, kalian benar, saya pendosa."
Dari pernyataan tersebut Erika Carlina secara efektif mengambil angin dari layar kapal kebencian mereka. Serangan mereka kehilangan daya tusuknya karena tidak ada perlawanan.
Momen puncaknya adalah saat seorang warganet dengan frontal menyatakan akan terus menghujatnya selamanya. Respons Erika yang hanya terdiri dari tiga kata.
"Iya nggak apa-apa," adalah sebuah pukulan telak yang senyap.
Ini seperti mencoba meninju air tidak ada resistensi, tidak ada benturan, yang ada hanya ketenangan yang membingungkan si penyerang.
Dengan menolak narasi korban, Erika merebut kembali kendali atas ceritanya. Ia tidak membiarkan publik mendefinisikannya sebagai wanita malang yang perlu dikasihani.