"Mah, pak, maafin aku. Aku capek, badanku sakit, hatiku lebih sakit," begitu G memulai suratnya, sebuah kalimat pembuka yang langsung menusuk ke jantung siapa pun yang membacanya.
Ia melanjutkan dengan merinci bagaimana penyakit itu telah merampas semua hal yang pernah memberinya kebahagiaan dan harapan.
Pekerjaan, lingkaran pertemanan, bahkan cinta dari sang kekasih yang meninggalkannya setelah mengetahui kondisinya.
“Gagal ginjal ini mengambil semuanya dari aku. Kerjaan, teman-temanku, bahkan orang yang katanya sayang,” tulisnya, menggambarkan kehampaan yang ia rasakan.
Dalam kesendiriannya, ia melihat hanya kedua orangtuanya yang setia bertahan di sisinya.

amun, alih-alih merasa terhibur, kehadiran mereka justru menumbuhkan perasaan bersalah yang mendalam. Ia merasa dirinya telah berubah menjadi beban yang tak tertanggungkan.
"Maafin mama, papa ya nak. Selama ini kurang peka dengan keadaanmu. Andaikan waktu bisa diputar kembali pasti tidak akan terjadi seperti ini," tulis sang ibu, sebuah ratapan yang menyiratkan pelajaran pahit tentang pentingnya memahami luka yang tak terlihat.