Suara.com - Para pengusaha sound horeg bersatu dan dengan lantang mengubah nama jenis sound system ini di hadapan publik.
Ini buntut sound horeg diharamkan oleh beberapa pihak termasuk pemerintah lewat Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Karena situasinya seperti ini, kami dari teman-teman sound daripada persepsinya negatif maka soundnya yang horeg itu kita ganti nama menjadi sound karnaval Indonesia," kata salah satu pengusaha sound horeg.
Mereka semua memberikan klaim sound karnaval tidak seperti sound horeg karena dilihat dari sisi positifnya.
Meski diganti menjadi sound karnaval bahkan pakai embel-embel Indonesia, banyak publik yang masih mengecam. Netizen menilai mereka hanya mengganti nama namun tetap soundnya sama saja.
Padahal, tujuan mengharamkan sound horeg karena keberadaannya yang sudah meresahkan dan mengganggu masyarakat.
Jika hanya berganti nama agar tak dicap haram dan menggunakan nama yang lebih halus, namun sound karnaval tetap dinilai bakal mengganggu.
"Sound Horeg/ sound karnaval adalah bencana karena, demi sound horeg/sound karnaval, lansia, anak bayi, orang sakit, harus mengungsi," komentar netizen.
"Daging babi diganti nama jadi daging brewok, jadi halal nggak sih?" sindir netizen lain.
Baca Juga: Sound Horeg dan Dinamika Budaya Populer di Era Digital
"Alkohol ganti nama jadi minuman senang, biar nggak haram," tambah lainnya menyindir.
"Ganti nama ada kata “Indonesia” biar terdengar lebih Nasionalis dengan harapan bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Jelas-jelas diharamkan bukan karena namanya," tambah netizen lainnya.
"Bukan tentang namanya tapi tentang konsepnya Bambang!" tegas netizen lain semakin geram.
Alasan MUI haramkan sound horeg
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan sound horeg. Keputusan ini tertuang dalam Fatwa MUI Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 setelah melalui kajian mendalam dan menerima keluhan dari masyarakat.
Penting untuk dipahami fatwa ini tidak mengharamkan semua jenis sound system secara total. Yang diharamkan adalah penggunaan sound horeg yang berlebihan dan menimbulkan dampak negatif.
Berikut adalah beberapa alasan utama yang mendasari fatwa haram tersebut:
1. Polusi Suara Ekstrem
Sound horeg menggunakan pengeras suara bertenaga tinggi dengan volume yang sangat keras, sering kali jauh di atas ambang batas aman yang disarankan WHO (85 dB).
Hal ini menyebabkan polusi suara yang mengganggu kenyamanan dan ketenangan warga, terutama bagi lansia, anak-anak, dan orang sakit.
2. Merusak Lingkungan dan Properti
Getaran suara yang sangat kuat dari sound horeg dapat menyebabkan kerusakan pada properti, seperti kaca jendela yang retak atau bergetar, bahkan merusak struktur bangunan.
3. Ancaman Kesehatan
Suara bising yang berlebihan dapat membahayakan kesehatan pendengaran, memicu stres, dan mengganggu kualitas tidur masyarakat di sekitarnya.
4. Identik dengan Aksi Kemaksiatan
Penggunaan sound horeg sering kali diiringi dengan joget atau tarian yang tidak senonoh, pergaulan bebas, dan campur baur tanpa batas antara laki-laki dan perempuan.
Dalam banyak kasus, acara dengan sound horeg dikaitkan dengan perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti minuman keras dan perilaku tidak etis lainnya.
5. Pemborosan dan Sikap Pamer (Tabdzir)
Menyewa dan mengoperasikan sound horeg membutuhkan biaya yang sangat besar, terkadang mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Fatwa tersebut memandang bahwa penggunaan dana yang besar untuk sesuatu yang justru menimbulkan mudarat (kerusakan atau kerugian) dan pamer kekayaan adalah bentuk pemborosan yang dilarang dalam ajaran Islam.
Fatwa ini juga secara spesifik mengharamkan aktivitas adu sound (battle sound) secara mutlak karena dianggap menimbulkan kebisingan yang melampaui batas dan termasuk dalam kategori pemborosan.
MUI menegaskan bahwa fatwa ini merupakan upaya untuk menjaga ketertiban, kesehatan, dan nilai-nilai agama di tengah masyarakat.
Penggunaan sound system untuk kegiatan positif seperti resepsi pernikahan atau pengajian tetap diperbolehkan, asalkan volume suara dalam batas wajar dan tidak disertai dengan hal-hal yang diharamkan
Kontributor : Tinwarotul Fatonah