Gegara Bendera One Piece, Pengamat Sebut Pemerintah Kena Tampar Budaya Asing

Senin, 04 Agustus 2025 | 09:30 WIB
Gegara Bendera One Piece, Pengamat Sebut Pemerintah Kena Tampar Budaya Asing
Bendera One Piece, arti Jolly Roger Luffy (Twitter)

Suara.com - Fenomena viral pengibaran bendera bajak laut "One Piece" atau Jolly Roger menjelang HUT ke-80 RI mendapat sorotan tajam dari pengamat politik.

Analisis politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai bahwa tren ini bukanlah sekadar ikut-ikutan, melainkan sebuah bentuk protes yang cerdas dari masyarakat.

Menurutnya, penggunaan simbol dari budaya populer Jepang ini menjadi cara aman bagi publik untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kondisi bangsa.

Fenomena ini, kata Hendri, secara tidak langsung menjadi "tamparan" bagi pemerintah, khususnya kementerian yang mengurusi kebudayaan.

Pria yang akrab disapa Hensat ini menjelaskan, masyarakat memilih simbol anime karena lebih netral dan terhindar dari tuduhan politis atau makar.

bendera One Piece (Shopee)
bendera One Piece (Shopee)

"Ya, memang ini adalah bentuk protes, kenapa? Karena mereka menggunakan simbol yang lebih aman," kata Hendri Satrio dalam sebuah diskusi di tvOne yang dikutip Minggu, 3 Agustus 2025.

Ia membandingkan, jika masyarakat menggunakan simbol-simbol lokal untuk protes, hal itu bisa dengan mudah diartikan secara salah oleh pihak-pihak tertentu.

"Kalau mereka pakai simbol-simbol misalnya, logo-logo yang ada di Indonesia, wah ini bisa dibilang menghina Pancasila, wah ini parpol ini, wah ini parpol itu," jelasnya.

Oleh karena itu, simbol dari anime "One Piece" dianggap sebagai medium yang efektif dan tidak memicu polarisasi politik langsung.

Baca Juga: Viral Bendera One Piece di 17-an, Ketua MPR Justru Membela: Hatinya Tetap Merah Putih!

Hendri Satrio juga menyoroti bagaimana budaya asing justru mampu menjadi alat ekspresi politik yang lebih efektif di tengah masyarakat Indonesia.

Anies Baswedan bersama bendera One Piece. (Twitter/Shani Budi)
Anies Baswedan bersama bendera One Piece. (Twitter/Shani Budi)

"Ini tamparan buat Menteri Budaya, kenapa budaya kita nggak bisa dipakai untuk kemudian mengekspresikan, menerjemahkan politik di Indonesia?" tanyanya retoris.

Menurutnya, hal ini menunjukkan kegagalan dalam memanfaatkan budaya lokal sebagai sarana komunikasi yang relevan dengan anak muda.

Selain itu, penyebaran masif fenomena ini juga didorong oleh kultur "FOMO" (Fear of Missing Out) atau takut ketinggalan zaman di kalangan warganet.

"Netizen itu kan takut ketinggalan, jadi begitu ada tren ini, ya diterusin aja," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI