Suara.com - Sebuah kontroversi kembali menyelimuti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) setelah lembaga tersebut melayangkan surat peringatan hukum atau somasi kepada pengelola Pranaya Boutique Hotel di Jawa Timur.
Kasus ini menjadi viral dan memicu perdebatan luas di media sosial, bukan karena hotel tersebut menolak membayar royalti, melainkan karena mereka sama sekali tidak memutar musik komersial.
Kejadian ini pertama kali mencuat melalui sebuah video yang diunggah oleh pengelola hotel di akun TikTok @bustamarkoto.
Dalam video tersebut, ia mengekspresikan kebingungan dan kekesalannya setelah menerima surat dari LMKN.
"Telah menjadi perhatian kami bahwa tempat usaha yang Bapak/Ibu kelola telah memperdengarkan karya lagu dan musik yang harus memiliki lisensi," demikian bunyi kutipan surat yang dibacakannya.
Namun, pengelola tersebut menegaskan bahwa hotelnya tidak menggunakan musik untuk menciptakan suasana, melainkan suara alam.
"Sejak kapan Pranaya Boutique Hotel pakai lagu? Musik kita datang dari suara burung yang asli," ujarnya dengan nada tegas dalam video tersebut.
Pihak hotel sengaja memilih untuk menggunakan kicauan burung hidup yang dipelihara di area hotel untuk memberikan suasana yang natural dan menenangkan bagi para tamu.
Pengelola hotel juga mengkritik metode kerja LMKN yang dianggapnya kurang cermat.
Baca Juga: WAMI Minta Maaf Soal Salah Kirim Data Royalti, Ari Lasso: Masalah Tata Kelola Belum Selesai
Ia mempertanyakan apakah LMKN telah melakukan survei langsung ke lokasi sebelum mengirimkan somasi. Menurutnya, tindakan pengiriman surat secara acak tanpa verifikasi lapangan terlebih dahulu dapat meresahkan para pelaku usaha.
![Tangkapan layar seorang laki-laki geram setelah menerima somasi dari LMKN. [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/12/20585-lmkn-somasi-hotel.jpg)
LMKN sendiri merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tugas utamanya adalah menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti atas penggunaan karya cipta lagu atau musik secara komersial di berbagai tempat, seperti kafe, restoran, dan hotel.
Namun, kasus ini bukan kali pertama metode penagihan LMKN menjadi sorotan.
Sebelumnya, sejumlah pengusaha hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat, juga mengaku terkejut menerima tagihan serupa.
Dalam kasus di Mataram, argumen yang digunakan LMKN adalah bahwa tamu hotel berpotensi mendengarkan musik melalui televisi yang tersedia di dalam kamar, sehingga pihak hotel tetap dianggap wajib membayar royalti yang dihitung berdasarkan jumlah kamar.