Suara.com - Gelombang polemik royalti musik yang sebelumnya ramai diperbincangkan pasca kasus gerai Mie Gacoan di Bali, kini menghantam sektor perhotelan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sejumlah pengusaha hotel dibuat resah setelah secara tiba-tiba menerima surat tagihan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), memicu kebingungan dan protes atas mekanisme yang dianggap tidak jelas dan memberatkan.
Keterkejutan ini bukan tanpa alasan. Sebagian besar hotel merasa tidak pernah secara aktif memutar musik komersial untuk tamu seperti halnya kafe atau restoran.
Namun, dalih yang digunakan LMKN untuk menagih royalti membuat para pengusaha semakin bingung.
Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa, mengungkapkan bahwa dasar penagihan tersebut bahkan mencakup fasilitas standar di dalam kamar.
![Pasar Gebrag digelar Wyndham Garden Yogyakarta, Sabtu (7/6/2025) dalam upaya mensiasati rendahnya okupansi dan efisiensi anggaran di sektor perhotelan. [Kontributor/Putu]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/08/43743-hotel-mulai-digunakan-rapat-oleh-pemda.jpg)
"Pihak hotel telah menerima surat dari LMKN. Meskipun mereka menyampaikan tidak memutar musik, LMKN menilai televisi di kamar tamu dapat digunakan untuk mendengarkan musik, sehingga tetap dianggap sebagai pemutaran karya musik," ujar Adiyasa kepada awak media belum lama ini.
Logika ini dianggap janggal, karena pihak hotel tidak memiliki kendali atas konten yang diakses tamu melalui televisi, terutama di era Smart TV yang terhubung ke internet.
Masalah tidak berhenti pada justifikasi penagihan. Mekanisme penetapan tarif royalti juga menjadi sorotan.
Berbeda dengan sektor kuliner yang dihitung per kursi, tarif untuk hotel didasarkan pada jumlah kamar.
Baca Juga: Kisruh Royalti Makin Meluas, Badai Nilai LMKN Tak Perlu Dilibatkan Lagi
"Untuk kategori hotel, tarif royalti ditentukan berdasarkan jumlah kamar. Misalnya, hotel dengan 0-50 kamar memiliki besaran tertentu, sedangkan yang memiliki 50-100 kamar dikenakan tarif berbeda," jelas Adiyasa.
![Ilustrasi mendengarkan dan mendownload musik mp3. [Freepik]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/10/30476-ilustrasi-dengerin-musik.jpg)
Skema ini dinilai tidak adil karena tidak mencerminkan tingkat penggunaan musik yang sebenarnya.
Lebih lanjut, Adiyasa menuturkan bahwa para anggota AHM merasa tidak nyaman dengan metode penagihan yang terkesan memaksa dan tanpa sosialisasi yang memadai.
Untuk itu, AHM mendorong para anggotanya agar proaktif meminta pertemuan resmi dengan LMKN guna mencari titik terang dan membahas permasalahan ini secara transparan.
Keresahan serupa juga disuarakan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB.
Ketuanya, Ni Ketut Wolini, mengkritik keras kurangnya panduan teknis dan dialog sebelum kebijakan ini diterapkan di daerah.