Ia pun menuding bahwa anggota LMKN menikmati gaji tinggi dari hasil pengumpulan royalti yang tidak pernah sampai ke tangan pencipta lagu.
"Bayangin mereka bisa nikmatin gaji Rp30 juta dari royalti yang dikumpukan," tegas Piyu.
Piyu lalu mengungkap modus LMKN yang memanfaatkan nama para pencipta lagu untuk menagih royalti.
Menurutnya, hal ini dimanfaatkan untuk memberi kemudahan atas penagihan yang dilakukan ke berbagai pihak.
"Mereka memanfaatkan nama komposer untuk menagih atas nama pencipta," katanya.
Namun ketika para pencipta mencoba meminta laporan pertanggungjawaban, LMKN justru berlindung di balik birokrasi.
"Ketika kami menagih amanat itu dengan mensomasi, coba minta laporan, mereka menjawab ‘kami tidak bertanggung jawab pada pencipta lagu, tapi kepada menteri hukum dan HAM'," tambahnya.
Menurut Piyu, kondisi ini juga berdampak pada hubungan antara penyanyi dan pencipta lagu. Ketegangan sering muncul akibat ketidakjelasan aliran royalti yang seharusnya mereka bagi bersama.
"Hal ini memang akhirnya menjadi pemicu retaknya hubungan yang harmonis antara penyanyi dan pencipta lagu, karena memang ada yang mengatur ini supaya memang berantem," jelas Piyu.
Baca Juga: Buka-bukaan soal Duit, Promotor Tetap Bayar Royalti Ariel untuk Konser Peterpan Lewat WAMI
Padahal, menurutnya, jika saja sistem royalti dijalankan sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta, semua pihak bisa menerima dengan baik.
"Padahal sebenarnya dari dulu awal kita jalankan UU Hak Cipta yang ada, sebenarnya enggak akan ada masalah,” katanya.
Ia menyimpulkan bahwa akar persoalan ini adalah kegagalan LMKN menjalankan mandatnya.
"Sebenarnya standarnya adalah kembali ke UU Hak Cipta, semua adalah bermuara dari ketidakberhasilan sistem yang sudah dijalankan oleh LMKN selama ini," tutup Piyu.
Kontributor : Rizka Utami