Di tengah kepanikannya, matanya menangkap sebuah tulisan di masker yang membuatnya semakin lemas, yang ia duga adalah tanggal kedaluwarsa.
"Gua lihat enggak tahu gua panik gua salah lihat enggak tapi ini mungkin gua salah ya. Tapi yang gua lihat tulisannya 22 Juli 1987. Ini mungkin gua salah ya. Mungkin gua salah. Gua enggak tahu," katanya, seraya mengakui bahwa penglihatannya bisa saja salah karena kondisi yang sangat kacau.
Tekanan mental dan fisik yang luar biasa hebat akhirnya memicu reaksi tubuh yang tak terduga. Dikta berteriak sekuat tenaga hingga suaranya habis, namun ia juga merasakan sensasi seperti tercekik, membuatnya sulit bernapas.
Saat itulah ia pertama kali menyadari apa itu serangan psikosomatis, di mana stres psikologis bermanifestasi menjadi gejala fisik yang nyata.
"Gua teriak sampai enggak ada suaranya sampai di situ gua ternyata baru tahu namanya psikosomatis tuh ada. jadi gua kayak kecekek," jelasnya.
Selama satu jam penuh, pesawat harus berputar-putar di udara, diduga untuk menghabiskan bahan bakar sebelum bisa melakukan pendaratan darurat. Satu jam tersebut terasa seperti selamanya bagi Dikta dan penumpang lain, terombang-ambing antara harapan dan ketakutan.
Akhirnya, pesawat berhasil mendarat dengan selamat, namun pengalaman mengerikan itu terlanjur membekas dan menjadi trauma mendalam bagi Dikta hingga hari ini.