Suara.com - Sebagai seseorang yang sudah terlalu sering menonton film tentang masa depan suram, saya kira saya sudah kebal terhadap segala bentuk kekacauan distopia.
Tapi The Running Man membuat saya menyadari satu hal, manusia tampaknya tidak pernah bosan melihat sesamanya dikejar, ditendang, ditembak, dan dijadikan hiburan prime time.
Tentu saja, film ini memanfaatkan obsesi itu dengan gaya penuh ledakan, lari tanpa henti. Hampir mirip dengan The Long Walk, tapi versi agak berlebihan.
Film ini mengisahkan Ben Richards, diperankan oleh Glen Powell, seorang ayah putus asa yang rela masuk ke sebuah reality show maut demi mendapatkan uang untuk anaknya.

Format acaranya sederhana, bertahan hidup selama 30 hari dari kejaran pembunuh profesional. Hadiahnya? Satu miliar dolar. Risikonya? Segala kemungkinan cara mati yang bisa Anda bayangkan.
Produksi film ini tampaknya percaya bahwa masa depan bukan hanya gelap, tetapi juga suka menonton permainan dengan taruhan nyawa sambil ngemil popcorn.
Premis Distopia yang Sebenarnya Terasa Dekat
Saat menonton, saya sempat berpikir, "Jangan-jangan lima tahun lagi acara seperti ini benar-benar ada."
Dunia film ini memang sengaja dirancang seperti sindiran halus bahwa masyarakat modern memang gampang terhibur oleh penderitaan orang lain.
Sayangnya, film ini berhenti tepat sebelum menjadi kritik sosial yang menggigit, dan memutuskan untuk menyajikan hiburan ringan saja.
Baca Juga: The Price of Confession: Jeon Do Yeon dan Kim Go Eun Terlibat Kasus Pembunuhan, Tayang d Netflix

Tidak salah, sebenarnya. Tapi saya berharap ada sindiran satir yang lebih pedas daripada sekadar acungan jari tengah terhadap media massa.
Penampilan Glen Powell Patut Diacungi Jempol
Glen Powell tampil solid sebagai Ben Richards. Dia tipe aktor yang mudah diakui sebagai A-list, tapi hampir selalu berhasil menyelamatkan adegan-adegan membosankan.
Powell berhasil membawa energi seorang ayah yang putus asa sekaligus cukup gila untuk bergabung dalam permainan maut.
Berkat aktingnya, Ben Richards menarik tanpa harus berusaha keras, dan lucu tanpa terlihat memaksa.
Dia cukup karismatik untuk membuat saya tetap peduli meski dunia filmnya terkadang terasa seperti kertas kosong yang digambar tergesa-gesa.
Keputusasaannya terasa nyata, tapi sisi sedikit tidak waras-nya membuatnya menarik.
Dia punya peluang bertahan bukan karena kemampuan, tetapi karena hidup sudah terlalu buruk sampai-sampai mati tidak lagi terasa sebagai ancaman yang besar.
Aksi yang Menggelegar Tapi Humornya Kadang Membingungkan
Sisi aksi film ini bekerja sangat baik, jelas, intens, dan tidak membuat kepala pusing.

Ketika film masuk mode "lari atau mati," saya terhibur, terhanyut, dan beberapa kali terpancing untuk duduk lebih tegak, meski saya tahu hasil akhirnya sudah dapat ditebak.
Humornya? Nah, di sinilah masalah muncul. Beberapa lelucon yang sukses bikin tertawa. Tapi banyak juga yang garing.
Ada kalanya saya tertawa karena lucu, dan ada pula momen ketika saya tertawa karena tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Rasanya seperti menonton teman yang berusaha menjadi lucu di grup, tapi kadang terlalu memaksakan.
Namun saya akui, jika itu bukan Glen Powell, beberapa dialog mungkin akan terasa seperti catatan latihan komedi stand-up yang belum matang.
Plot yang Menjanjikan Tapi Kurang Greget

Konsep dunia penuh propaganda, AI manipulatif, publik yang senang menghakimi, dan pemerintah yang dipimpin industri hiburan seharusnya menjadi tambang emas satir.
Tapi sayangnya, film ini memilih jalur aman. Semua ada, tetapi disajikan dengan sentuhan minimal.
Saya juga merasakan upaya film untuk lebih setia pada novel Stephen King, tapi usaha itu malah membuat struktur cerita terasa sedikit gemuk.
Beberapa subplot seperti numpang lewat, dan beberapa transisi terasa terburu-buru.
Film ini seperti roti lapis dengan isi berlimpah, tapi entah bagaimana rasa setiap lapisannya tidak sempat keluar sepenuhnya.
Sebagai tontonan popcorn, film ini berhasil. Sebagai aksi sci-fi dystopian, film ini cukup menghibur dan menyenangkan.
The Running Man adalah tontonan yang layak dinikmati sekali duduk. Intens, lucu sesekali, dan dipandu oleh aktor utama yang semakin solid.
Tapi jangan berharap pulang membawa renungan mendalam. Pada akhirnya, film ini adalah hiburan ringan tentang dunia yang kejam.
Jika Anda butuh pelarian dua jam lebih, film ini jawabannya. Jika Anda berharap sesuatu yang berkesan, cari saja film lain.
Kontributor : Chusnul Chotimah