-
LMKN melibatkan para musisi dan pencipta lagu untuk memantau langsung penggunaan karya mereka karena banyak tempat usaha belum patuh membayar royalti.
-
Pemilik kafe disebut sering menghindar dari kewajiban, bahkan ada yang mengorbankan penyanyi kafe agar menghadapi petugas royalti, padahal tanggung jawab ada pada pemilik usaha.
-
Ironi muncul ketika musisi jalanan justru ingin membayar royalti, sementara banyak pengusaha besar mangkir, sehingga LMKN menekankan pentingnya kesadaran dan perlindungan hak ekonomi pencipta lagu.
"Yang bertanggung jawab adalah pemilik tempat usaha yang menikmati hasilnya," tegasnya.
Satu hal yang paling menohok dari pernyataan Icha adalah perbandingan moral antara pengusaha besar dengan musisi jalanan.
Icha menceritakan sebuah fenomena mengharukan di mana asosiasi musisi jalanan justru berinisiatif mengumpulkan uang untuk membayar royalti ke LMKN.
Namun, niat baik para pengamen ini justru ditolak oleh LMKN. Alasannya, selain aturan yang belum mengatur penarikan dari musisi jalanan, LMKN juga mempertimbangkan aspek sosial dan pendapatan mereka yang tak seberapa.
"Musisi jalanan itu malah dari asosiasinya mengumpulkan uang royalti untuk membayar kepada LMKN. Dan itu kita tolak karena memang aturannya belum mengatur itu juga, dan juga dari sisi sosial juga kan berapa sih yang mereka dapatkan," jelas pelantun lagu Saat Kau Tak Di Sini tersebut.
Kondisi ini menjadi ironi besar. Pengamen dengan penghasilan pas-pasan memiliki kesadaran tinggi untuk menghargai karya orang lain, sementara pengusaha dengan omzet ratusan juta hingga miliaran rupiah justru banyak yang mangkir.
"Itu saja mereka (pengamen) mau bertanggung jawab, dibandingkan dengan pemilik-pemilik usaha yang bisa sampai ratusan juta atau bahkan miliaran per tahunnya. Malu dong maksudnya dengan musisi jalanan yang peduli dengan nasib pencipta," sentil Icha.
Menutup pembicaraan, Icha memberikan analogi sederhana tentang logika royalti yang seharusnya mudah dipahami oleh siapa saja.
![Aji Mirza Hakim alias Icha Aji Jikustik [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/11/19/73443-aji-mirza-hakim-alias-icha-aji-jikustik-instagram.jpg)
Dia mengibaratkan penggunaan lagu seperti meminjam motor untuk berjualan tahu.
Baca Juga: Soleh Solihun Soroti 'Jakarta Sentris', Dorong Kunto Aji Wujudkan Jambore Musisi Nasional
"Kalau logika aja begini, kalau misalnya kita mau jualan tahu nih, terus tiba-tiba kita enggak punya alat, pinjamlah sama orang motor segala macam. Tapi masa sih kita untuk menunjang usaha kita dengan motor itu, tapi yang punya motor nggak dikasih bensin, terus enggak dikembaliin haknya? Kan lucu," paparnya.
Di balik perjuangan menagih royalti ini, tersimpan cerita pilu para pencipta lagu legendaris di Indonesia.
Icha mengingatkan bahwa banyak pemilik hak cipta yang lagunya masih populer dan diputar di mana-mana, namun hidupnya justru berada di bawah garis kemiskinan karena hak ekonominya tidak terpenuhi.
"Banyak sekali pemilik hak terkait, terutama pencipta lagu yang juga sudah tidak aktif, itu hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal lagu-lagu mereka sudah ke mana-mana," imbuh Icha.
Meski jalan masih panjang, Icha bersyukur kesadaran masyarakat perlahan mulai tumbuh.
Laporan pemakaian lagu kini makin sering masuk setiap harinya, menandakan adanya harapan bagi perbaikan nasib para pencipta lagu di Tanah Air.