- Nicholas Saputra angkat suara soal duka dan bencana di Sumatra.
- Ia menyebut bencana sebagai peringatan keras akibat kerusakan lingkungan.
- Nicholas menyoroti ketidakadilan terhadap warga sekitar hutan yang paling terdampak.
Suara.com - Setelah sempat menuai kritik dari warganet, Nicholas Saputra akhirnya angkat suara. Aktor yang dikenal jarang berbicara reaktif di ruang publik itu memilih medium yang tenang namun mendalam, sebuah podcast bersama jurnalis senior Uni Lubis.
Di sanalah, Nicho, sapaan akrabnya tidak hanya berbicara sebagai figur publik, tetapi sebagai manusia yang diliputi kesedihan dan kegelisahan atas apa yang tengah terjadi di Sumatra.
Banjir bandang dan tanah longlsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, hingga Aceh meninggalkan duka mendalam baginya.
Nicholas Saputra juga menyebut rangkaian bencana ini sebagai wake up call, alarm keras bagi semua pihak, terutama pembuat kebijakan, untuk kembali serius membenahi relasi manusia dengan alam.
“Bencana yang terjadi di Sumatra ini harusnya jadi peringatan bahwa alam dan lingkungan harus kita jaga,” ujarnya. Bagi Nicholas Saputra, tragedi ini tidak bisa dipandang sebagai peristiwa alam semata, melainkan akibat dari kerusakan lingkungan yang terus dibiarkan.
Lebih jauh, bintang film Ada Apa Dengan Cinta? itu menegaskan bahwa kesadaran menjaga alam tidak seharusnya menjadi isu eksklusif segelintir orang.
Menurutnya, tanggung jawab terhadap lingkungan adalah milik semua orang, bukan hanya aktivis atau mereka yang secara khusus bergerak di bidang konservasi.
“Kita ini hanya numpang di bumi,” kata Nicholas. Ia mengingatkan bahwa manusia terus-menerus menerima kebaikan dari alam, sehingga sudah sepantasnya setiap keputusan sekecil apa pun dipikirkan dampaknya terhadap lingkungan.
Namun momen paling emosional terjadi ketika Nicholas membicarakan nasib masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Ia tak kuasa menahan sesak, berbicara dengan suara bergetar sambil menahan tangis.
Baca Juga: Prabowo Soroti Upaya Cari Kambing Hitam di Tengah Bencana Sumatra
“Kita minta mereka jagain hutan, tapi kondisinya miskin. Kalau bencana, paling pertama kena. Bantuan paling terakhir dapat,” ucapnya lirih.
Kalimat itu mencerminkan ironi besar, mereka yang diminta menjaga alam justru menjadi kelompok paling rentan saat alam rusak akibat sistem yang tidak adil. Tingginya angka kemiskinan membuat situasi ini semakin sulit untuk diproses, bahkan bagi Nicholas sendiri.
Sebelumnya, Nicholas sempat dikritik sebagian warganet karena dianggap kurang vokal atau terkesan “cuek” terhadap bencana di Sumatra, terlebih karena ia memiliki eco resort di wilayah tersebut.
Meski ia telah lama mengedukasi soal pentingnya menjaga lingkungan dan mengkritik pengelolaan lahan, publik menilai ia masih bisa berbuat lebih atau menjelaskan sikapnya secara terbuka.