- Film Kuyank resmi menjadi prekuel Saranjana: Kota Ghaib
- Digarap lebih ambisius dari film sebelumnya, produksi ini melibatkan peralatan berat seberat 1,5 ton dan adegan ekstrem yang dilakukan oleh para pemeran.
- Disutradarai Johansyah Jumberan dan dibintangi Rio Dewanto, film horor folklore Kalimantan ini akan tayang serentak di bioskop mulai 29 Januari 2026.
Suara.com - Teka-teki seputar prekuel film horor Saranjana: Kota Ghaib akhirnya terjawab. Rumah produksi DHF Entertainment resmi merilis trailer dan poster film terbaru mereka berjudul Kuyank.
Berangkat dari folklore yang melegenda di Kalimantan, Kuyank tak sekadar menghadirkan teror hantu kepala terbang.
Film ini juga menyoroti drama rumah tangga yang menyesakkan, ketika cinta dan tekanan sosial perlahan berubah menjadi petaka.
Dalam konferensi pers yang digelar di kawasan Cawang, Jakarta Selatan pada Senin, 22 Desembee 2025, film arahan sutradara Johansyah Jumberan dipastikan tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia mulai 29 Januari 2026.
Cinta yang Berujung Kutukan
Kuyank mengambil latar waktu tujuh tahun sebelum gerbang kota gaib Saranjana terbuka. Cerita berfokus pada Badri (Rio Dewanto) dan Rusmiati (Putri Intan Kasela), pasangan suami istri yang rumah tangganya mulai goyah akibat tekanan untuk segera memiliki keturunan.
Rusmiati berada dalam posisi terhimpit. Dia menghadapi penolakan dari ibu mertua sekaligus ketakutan akan ditinggalkan sang suami.
Dalam kondisi terdesak, Rusmiati nekat menempuh jalan gelap dengan mempelajari ilmu hitam Kuyang demi kecantikan abadi dan mempertahankan cintanya.
Keputusan itu justru memicu teror mengerikan yang menghantui warga desa, terutama para ibu hamil.
Baca Juga: Sinopsis His & Hers, Kisah Jurnalis Ungkap Kasus Pembunuhan Penuh Misteri
"Di Kuyank, teror tidak datang mendadak. Ia tumbuh dari cinta yang ditekan, dari keputusan yang makin sempit, sampai akhirnya berubah menjadi kutukan," kata produser Victor G. Pramusinto.
Tantangan Rio Dewanto dan 'Teror' Makanan Warga
Bagi Rio Dewanto, memerankan Badri menghadirkan tantangan tersendiri. Bukan soal adegan horor, melainkan penggunaan dialek Banjar atau Kandangan yang harus dia kuasai.
"Uncle Jo selalu hadir saat pendalaman karakter. Kalau ada bahasa di skenario yang pengucapannya kurang pas, langsung direvisi di tempat. Jadi kita enggak kehilangan arah," tutur Rio.
Menariknya, pengalaman syuting selama lebih dari sebulan di Kalimantan justru meninggalkan kesan hangat. Alih-alih mengalami kejadian mistis, Rio dan kru merasa "diteror" oleh kebaikan warga sekitar.
"Hampir tiap hari kita dikirimin makanan. Kadang saking banyaknya sampai bingung, akhirnya kita bagi-bagi lagi. Seru banget," ujar Rio sambil tertawa.