Suara.com - Film The Great Flood menjadi pembahasan seru di media sosial akhir-akhir ini. Sempat dikira film dengan tema survival dan bencana, ternyata garapan sutradara Kim Byung Woo itu mengusung konsep yang jarang diketahui publik.
Dapat dibilang, genre dan alur film ini lebih berat. Penonton harus benar-benar menyimak setiap adegan agar memahami keseluruhan cerita.
Kisahnya berpusat pada Anna (Kim Da Mi), seorang peneliti sekaligus ibu anak satu yang harus berjuang bertahan hidup di tengah banjir bandang yang melanda dunia.
Dalam kondisi bencana itu, datang Hee Jo (Park Hae Soo), anggota tim keamanan lembaga riset AI. Ia dikirim untuk menyelamatkan Anna.
Hee Joo mengatakan bahwa Anna merupakan satu-satunya orang yang bisa menciptakan manusia baru, setelah umat yang ada musnah karena banjir.

Hee Joo pun membantu Anna dan putranya untuk evakuasi ke lantai paling atas sembari menunggu bantuan berupa helikopter yang telah mereka sediakan.
Dengan upaya yang tak mudah, Anna dan Ja In berhasil mencapai atap gedung. Di sana, baru diketahui jika Jain bukan anak biologis Anna, melainkan subjek AI canggih yang diciptakan untuk menguji apakah makhluk buatan bisa memiliki emosi yang nyata.
Karena Jain hanyalah subjek, ia pun tidak diperbolehkan masuk ke helikopter dan dimusnahkan.
Setelah Anna dievakuasi oleh tim peneliti, film pun mengubah fokusnya. Yang dipertaruhkan bukan lagi cara untuk bertahan hidup dari bencana, melainkan sebuah eksperimen besar untuk masa depan peradaban yaitu apakah emosi bisa diciptakan dan diwariskan, bahkan ketika manusia sudah tidak ada.
Baca Juga: Review The Great Flood: Film Bencana atau Sci-Fi? Cerita Ambisius yang Kehilangan Arah
Anna pun kemudian dibawa ke laboratorium luar angkasa dan mengetahui bahwa harapan terakhir umat manusia terletak pada pengembangan Emotion Engine, teknologi yang mampu memberi AI kedalaman emosi sejati.

Kecerdasan dan logika sudah berhasil diciptakan, namun emosi, khususnya cinta, belum pernah benar-benar bisa direplikasi.
Anna mengusulkan eksperimen ekstrem, alih-alih memprogram emosi, ia akan mengalaminya sendiri.
Ia rela masuk ke dalam simulasi yang memaksanya mengulang hari paling traumatis dalam hidupnya, yakni hari saat banjir menghancurkan segalanya.
Di dalam simulasi ini, Anna terus mengulang kejadian yang sama dan setiap kali ia gagal menyelamatkan Jain, waktu akan direset tanpa batas, hingga ia berhasil atau hingga kepunahan menjadi permanen.
Pada awalnya, percobaan Anna selalu gagal karena ingatannya tidak utuh. Ia lupa janji yang pernah ia buat kepada Jain serta lupa kebiasaan dan ketakutan anak itu.