Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), virus Epstein-Barr (EBV), juga dikenal sebagai virus herpes manusia 4, yang merupakan anggota dari keluarga virus herpes.
"EBV salah satu virus manusia yang paling umum dan ditemukan di seluruh dunia. Kebanyakan orang terinfeksi EBV di beberapa titik dalam hidup mereka," kata CDC, dikutip dari Express.

EBV biasanya menyebar paling sering melalui cairan tubuh, terutama air liur. EBV bisa menyebabkan mononukleosis menular yang juga disebut mono dan penyakit lainnya.
Reaktivasi virus Epstein–Barr (EBV) yang dihasilkan dari respons inflamasi terhadap infeksi virus corona Covid-19 mungkin menjadi penyebab terjadinya Long Covid-19.
Studi Long Covid-19 telah menguraikan bukti pertama yang menghubungkan reaktivasi EBV dengan Long Covid-19, serta analisis prevalensi Long Covid-19.
"Kami menjalankan tes antibodi EBV pada pasien Covid-19 yang pulih, lalu membandingkan tingkat reaktivasi EBV dari mereka yang memiliki gejala Long Covid-19 dengan mereka yang tidak memiliki gejala Long Covid-19," kata penulis Utama studi, Jeffrey E Gold.
Ia juga mengatakan mayoritas pasien yang mengalami gejala Long Covid-19 biasanya positif reaktivasi EBV. Tapi, hanya 10 persen dari kelompok kontrol yang menunjukkan reaktivasi EBV.
Para peneliti mensurvei 185 pasien yang dipilih secara acak pulih dari virus corona Covid-19 dan menemukan bahwa 30,3 persen pasien mengalami gejala Long Covid-19 yang konsisten, termasuk pada pasien virus corona yang tanpa gejala.
"Orang-orang yang menjalani pengobatan Long Covid-19 bisa mengurangi efek EBV dan virus lain dari keluarga sama," kata Profesor Lawrence Young, ahli virologi di University of Warwick.
Baca Juga: Benarkah Makan Buah dan Sayuran Turunkan Risiko Infeksi Virus Corona?