Untuk kasus yang dialami ibu Santi yang anaknya mengalami celebral palsy, menurut Inggrid, kasus tersebut ganja memiliki kemungkinan dapat mengobatinya. Apalagi celebral palsy sendiri disebabkan adanya gangguan pada otak penderita.
Inggrid mengungkapkan, meskipun seandainya ganja dilegalkan, hal tersebut juga membutuhkan waktu lama. Apalagi ganja yang ada di Indonesia memiliki kandungan tetrahydrocannabinol (THC) yang tinggi dan cannabidiol (CBD) yang rendah.
Untuk itu, menurutnya, dibutuhkan penelitian yang cukup lama agar ganja di Indonesia dapat berguna penggunaannya untuk kesehatan.
“Dari hasil kajian BNN, ganja di Indonesi kandungan THC nya tinggi kandungan CBD rendah. Namun ada cara gitu, tapi harus melalui penelitian yang panjang, misalnya membuat rekayasa sehingga THC nya minim CBD nya di tingkatkan,” ucapnya.
Tidak hanya itu Inggrid juga mengatakan, saat ini situasinya cukup sulit karena mau menanamnya saja bermasalah, jadi tidak bisa dilakukan penelitian.
Kalaupun Indonesia melegalkan ganja dalam pengobatan medis, menurutnya dapat melakukan import dari luar negeri sambil menunggu hasil penelitian ganja lebih lanjut.
“Sejauh ini belum ada penelitian gitu pada manusia karena nanamnya saja tidak boleh. Tapi kalau legal juga butuh waktu lama. Alternatif lain bisa import sementara sambil menunggu proses penelitian sehingga hasilnya bisa dipakai layanan kesehatan,” kata Inggrid.