Suara.com - Setiap pendaki tentu memiliki mimpi untuk bisa menaklukkan puncak dari gunung tertinggi di dunia. Ini juga yang menjadi ambisi Putri Handayani.
Bagi para pecinta alam, nama perempuan lulusan Fakultas Teknik Perminyakan UI Angkatan 2000 tersebut sudah tak asing.
Sejak beberapa tahun lalu, Putri Handayani memulai ekspedisi untuk menggenapi pendakiannya ketujuh puncak tertinggi di tujuh benua di dunia dan penjelajahan ke dua kutub. Jika berhasil, ia akan menjadi perempuan pertama Indonesia yang berhasil menggenapi The Explorers Grand Slam.
The Explorers Grand Slam merupakan sebuah tantangan di kalangan para petualang untuk mendaki seven summits sekaligus mencapai kutub utara dan kutub selatan.
"Sampai saat ini baru ada 66 orang di dunia yang melengkapi grand slam penjelajahan tersebut, 15 di antaranya perempuan dan belum ada satu pun dari Asia Tenggara. Saya sudah melakukan empat dari tujuh summit," ungkapnya.

Meski begitu, Putri Handayani mengaku tak sekadar mengejar ambisi. Ia mengaku menyandingkan ekspedisi yang dilakukannya dengan program sosial membangun sekolah alam yang dilengkapi tujuh ruangan di wilayah terpencil di Intan Jaya, Papua.
Pendaki gunung berusia 35 tahun itu mengaku terketuk hatinya saat melakukan ekspedisi Carstenz Pyramid (4.884m).
"Saat mendaki di Papua, saya menemukan kebutuhan akan pendidikan di sana yang sangat mendasar. Jadi kita berbuat sesuatu yang memiliki nilai lebih untuk tempat kita bermain, yaitu di sekitar gunung yang kita daki, sehingga pendakian itu bermakna juga bagi masyarakat sekitar," ungkapnya panjang lebar.
Ia berjanji, jika ekspedisi The Explorers Grand Slam berhasil dijalani, misi sosial tersebut segera diwujudkannya. Bersama dengan sponsor dan berbagai perusahaan yang akan membantu, Putri Handayani semakin bersemangat menyelesaikan misi pendakiannya.
Baca Juga: Inspirasi Kejar Mimpi, Ini Kisah Penderita Polio Mendaki Gunung Tertinggi
Cerita Pendakian Putri Handayani
Dari tujuh puncak tertinggi, sudah empat puncak yang didaki Putri Handayani. Ia memulainya dari gunung Kilimanjaro (5.895 m) yang berada di Timur Laut Tanzania pada Februari 2016. Lalu diikuti oleh Carstenz Pyramid, Papua, di tahun yang sama pada Agustus.
Perempuan yang pernah bekerja di perminyakan ini mengatakan, selalu menjadikan gunung yang didakinya sebagai latihan untuk mendaki yang lebih tinggi.
Inilah yang membuat Putri Handayani pada akhirnya mengambil Himalaya Technical Course, sebuah kursus mendaki tiga gunung tinggi di Himalaya, Nepal, pada 2016 sebelum melanjutkan ekspedisi The Explorers Grand Slam tersebut.

Gunung tersebut ialah Gunung Pokalde, Lobuche, dan Ama Dablam. Setelah mendapat berbagai ilmu secara teknik dalam mendaki gunung di atas 6000 m, Putri Handayani pun melanjutkan ekspedisinya ke Gunung Denali (Alaska) di Alaska pada Mei 2017.
Namun pendakiannya terpaksa dihentikan, karena badai salju berkepanjangan. Setelah sebelumnya Putri Handayani harus melakukan Winter Mountain Learning Course di Gunung Rainier, Seattle.
Ekspedisi Denali pun sejenak Putri Handayani lupakan sambil berlatih mendaki beberapa gunung berikutnya, yakni Elbrus (5.642 m) dan Aconcagua (6.962 m) yang berhasil ditaklukannya. Ia akan mencobanya lagi pada Juni 2020, dilanjutkan dengan penjelajahan ke Kutub Utara, serta melakukan back to back ke Kutub Selatan dan ekspedisi ke Gunung Vinson Massif (4.892 mdpl) yang merupakan gunung tertinggi di benua Antartica pada akhir Desember 2019 hingga Januari 2020.
"Target saya 2021 selesai The Explorers Grand Slam. Tadinya pengen 2020, tapi Kutub Utara itu seasonnya sama kaya Everest. Jadi Everest terakhir di 2021," ungkapnya.
Tantangan yang Dihadapi
Dari sekian banyak ekspedisi dan kegiatan di alam bebas yang sudah dilakukan, Putri Handayani mengaku rasa takut dalam dirinya sebenarnya selalu ada ketika ingin melalukan kegiatan di alam bebas atau mendaki gunung.
"Semakin tinggi gunung yang akan saya daki, rasa takut saya semakin besar. Karena sudah tahu risikonya seperti apa. Cuma kemampuan kita me-manage rasa takut itu sendiri yang juga harus lebih baik," ungkapnya.
Ada beberapa pengalaman tak terlupakan yang Putri Handayani alami. Salah satunya saat melakukan Himalaya Technical Course di Ama Dablam. Tiba-tiba ia terserang arthritis akut yang membuatnya tidak bisa berbicara selama dua minggu.
Namun beruntung, sebelum pendakian selesai, kondisinya semakin membaik, meski Putri Handayani harus mengonsumsi antibiotik dan menjalani perawatan lainnya.
Belum lagi, kata Putri Handayani, saat mendaki ke Kilimanjaro selama tujuh hari, hujan terus-menerus turun selama lima hari yang membuat pendakian Explorers Grand Slam pertamanya terasa begitu berat karena dingin yang menusuk.
"Sebenarnya banyak banget nggak comfort-nya. Saat ke Carstenz Pyramid, misalnya, guide saya yang sudah 28 kali summit di sana bilang, snow itu akan turun 2-3 jam. Pas saya itu 5-6 jam. Itu susah banget. Tapi balik lagi ke diri saya, saya sebenarnya mampu nggak, sih, mendaki di atas 6000," bebernya merinci.
Meski begitu Putri Handayani tetap optimis mampu menghadapi segala rintangan yang ada. Salah satunya adalah dengan rutin menjalani beberapa latihan sebelum mendaki.
"Banyak latihan yang harus dilakukan, misalnya latihan fisik dengan jogging, naik-turun tangga, yoga, dan lainnya," tutupnya mengakhiri perbincangan.