Dea mulai terpikir untuk mengunting-gunting Batik Lawassn yang ia jual dan kemudian dijahit dengan model yang diinginkan. Berawal dari satu orang penjahit di sudut rumahnya, kisah Batik Kultur dimulai pada 2011 silam, saat usianya masih sangat belia, yakni 16 tahun.
Dea sendiri yang mendesain produk Batik Kultur. Karena tak bisa menggambar, ia mengandalkan imajinasi lalu ditransfer ke seorang juru gambar kepercayaannya.
Untuk batik sendiri, ia bekerjasama dengan para pengrajin Batik dari beberapa daerah di Indonesia, di antaranya Cirebon, Pekalongan dan Sragen untuk membatik sesuai dengan baju-baju yang akan dijahit.
"Jadi semua motif batik yang saya jual desainnya adalah hasil karya saya sendiri," ungkapnya.
Tak heran, Batik Kultur mendapat respon yang luar biasa dari pemasaran digital yang memang marak dalam beberapa tahun terakhir. Dea mengakui, kesuksesan Batik Kultur tak lepas dari peran media sosial seperti Facebook dan Instagram.
Saat ini Batik Kultur memiliki dua galeri penjualan, satu di Semarang, Jawa Tengah, kota asal kelahiran Dea. Dan satu lagi berada di Ibu Kota, Jakarta.
Di usia yang terbilang sangat muda, Dea Valencia sudah bisa meraih omzet ratusan juta dalam satu bulan. Namun, kesuksesannya tidak diraih dalam sekejap mata. Semua berkat semangat dan kerja keras dalam menggeluti usaha yang dijalani bersama karyawan difabel yang ia rangkul.