Sementara Pangdam Jaya Amir Machmud juga melarang Sukarno masuk ke dalam wilayah DKI Jakarta. Karena itu setiap Bung Karno harus ke Jakarta untuk pemeriksaan kesehatannya, ia harus mengantongi izin dari Dua Pangdam tersebut.
Ajudan Sukarno, Sidarto Danusubroto harus bolak baik ke Kodam Siliwangi dan Kodam Jaya setiap Bung Karno akan ke Jakarta untuk pemeriksaan medis. Di Kodam, Danu mengaku dipandang sinis oleh para prajurit TNI karena dicap sebagai Orang Sukarno.
Tinggal di lingkungan Istana membuat Sukarno lama kelamaan tidak nyaman. Ia meminta pindah. Permintaannya dikabulkan. Sukarno pindah ke rumah peristirahatannya di Batutulis, Bogor.
Di sana Sukarno hampir setiap hari diinterogasi petugas mengenai keterlibatannya dalam peristiwa Gestapu.
Tak betah menghadapi situasi seperti itu, Sukarno minta pindah ke Jakarta. Akhirnya Sukarno pindah ke Wisma Yaso.
Wisma Yaso adalah rumah yang dibangun istri Sukarno, Ratna Sari Dewi, untuk Sukarno. Belakangan oleh Suharto Wisma Yaso diubah menjadi Museum Satria Mandala.
Di Wisma Yaso, hidup Sukarno bertambah sulit. Ia tidak boleh meninggalkan Wisma Yaso dan tidak diperkenankan menerima tamu.
Tidak lagi menerima gaji dan fasilitas apapun dari negara, Bung Karno harus membiayai hidupnya sendiri dalam status tahanan.
Kisah Misterius Upaya Pembebasan Sukarno
Dalam buku "Intai Amfibi Marinir: Senyap Menjaga Indonesia" dituliskan sebuah kisah misterius mengenai upaya pembebasan Sukarno dari Wisma Yaso oleh Pasukan Komando Intai Para Amfibi (KIPAM) KKO yang kini bernama Batalyon Intai Amfibi (Yon Taifib) Marinir TNI AL.