Suara.com - Gus Miftah mulai dikenal publik saat videonya sedang berdakwah di kelab malam Boshe di Bali, menyebar luas di media sosial.
Aksi Gus Miftah ini mampu menyedot atensi publik sebab cara berdakwahnya dinilai di luar arus utama. Pria kelahiran Jabung, Lampung Timur ini, menyampaikan ayat-ayat Tuhan di tempat yang penuh maksiat.
Tidak hanya kelab malam, Gus Miftah juga berceramah di lokalisasi seperti Pasar Kembang (Sarkem) di Yogyakarta.
"Dengan satu alasan, di makam Sunan Drajat, beliau berpesan, berikanlah pakaian kepada mereka yang telanjang, berilah tongkat pada mereka yang buta. Saya tafsirkan menyalakan lampu itu di tempat gelap, menyapu itu di tempat kotor," papar Gus Miftah mengenai alasannya dakwah di kelab malam dan lokalisasi.
Apa yang dilakukan Gus Miftah ini sebenarnya bukan hal baru dalam dunia dakwah di tanah air. Jauh sebelumnya, sudah ada sejumlah ulama yang menjadikan kelab malam dan lokalisasi sebagai ladang dakwahnya. Siapa saja mereka?
1. Gus Miek
Hamim Tohari Djazuli, yang akrab dipanggil Amiek atau Gus Miek, lahir di Kediri, Jawa Timur pada 17 Agustus 1940, dari pasangan KH Djazuli Utsman dan Nyai Rodhiyah.
KH Djazuli Utsman adalah seorang kiai tersohor yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur.
Gus Miek pertama kali belajar membaca Alquran dibimbing langsung oleh ibunya, kemudian diserahkan kepada Ustadz Hamzah, bersama-sama Khoirudin dan Hafizh.
Baca Juga: Gus Miftah Blak-blakan Tarif Endorse Follower Jutaan: Setara Haji Furoda Satu Keluarga
Proses mengaji Alquran ini tidak berlangsung lama karena Gus Miek sudah meminta khataman (kelulusan) saat baru belajar satu juz.
Gus Miek juga pernah menimba ilmu di Lirboyo, yang merupakan pondok pesantren terbesar di Kediri saat itu. Di sana, Gus Miek juga tidak bertahan lama. Ia hanya 16 hari Gus Miek nyantri di Lirboyo lalu memutuskan pulang.
Beberapa bulan kemudian, Gus Miek melanjutkan perjalanan hidupnya dengan mondok di Lirboyo. Tetapi, di tengah-tengah pendidikannya di Lirboyo, Gus Miek kemudian pergi ke Watucongol, Magelang, ke sebuah pondok pesantren yang diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai wali di Jawa Tengah.
Cara berdakwah Gus Miek juga tidak seperti para kiai pada umumnya. Ia berdakwah di tempat-tempat hiburan malam seperti kelab malam dan lokalisasi.
Kisah paling mahsyur adalah ketika Gus Farid, putra sulung KH Achmad Shiddiq Jember, bertanya perasaan Gus Miek saat berbaur dengan wanita cantik di tempat hiburan malam.
Gus Miek menjawab: "Aku setiap bertemu dengan perempuan, dalam pandangan mataku meskipun perempuan itu secantik apa pun, yang terlihat hanyalah tulang dan darahnya saja. Tanpa ada syahwat sama sekali".