Jika makanan yang dibawa oleh pihak pelaku diterima oleh keluarga korban dan disantap bersama, maka hal itu menandakan bahwa perdamaian telah tercapai.
Makanan yang disajikan dalam prosesi ini bukan sekadar hidangan, tetapi juga memiliki makna simbolis sebagai bentuk ketulusan dan niat baik dalam menjalin kembali hubungan yang sempat retak.
Proses makan bersama ini mencerminkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk mengakhiri permusuhan dan kembali menjalin hubungan sosial yang harmonis.
Setelah prosesi makan bersama selesai, ritual tepung tawar diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang tetua adat atau tokoh masyarakat.
Doa ini bertujuan untuk memohon keberkahan serta mengharapkan agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.
Sebagai informasi, tradisi tepung tawar perdamaian tidak hanya berfungsi sebagai adat, tetapi juga diakui dalam sistem sosial dan hukum di Palembang.
Bahkan, konsep ini selaras dengan Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat yang mengutamakan penyelesaian konflik melalui musyawarah dan pendekatan adat sebelum menempuh jalur hukum.
Sejarah tepung tawar perdamaian
Tradisi tepung tawar perdamaian di Sumatera Selatan berakar dari hukum adat yang telah lama diterapkan.
Baca Juga: Konten Rendang Hilang Willie Salim Settingan atau Bukan? Begini Analisa Bobon Santoso
Praktik ini pertama kali tercantum dalam Undang-Undang Simbur Cahaya yang disusun oleh Ratu Sinuhun, istri dari Pangeran Sido Ing Kenayan, penguasa Palembang pada periode 1629-1636.