Umumnya, orang Barat mengonsumsi makanan rendah serat yang menghasilkan kotoran kering dan sedikit air, sehingga penggunaan tisu dianggap cukup.
Sebaliknya, masyarakat Asia dan Afrika sering mengonsumsi makanan tinggi serat, seperti sayuran dan buah-buahan, yang membuat kotoran lebih lembek dan memerlukan air untuk membersihkannya secara maksimal.
Perbedaan metode cebok ini juga berkaitan dengan ajaran agama. Dalam Islam dan Hindu, misalnya, menggunakan air untuk bersuci adalah bagian dari syariat.
Sehingga bagi masyarakat yang memeluk agama-agama ini, cebok pakai air bukan sekadar kebiasaan, melainkan kewajiban keagamaan yang berkaitan langsung dengan kesucian diri.
Popularitas tisu toilet semakin meningkat di dunia Barat setelah ditemukannya tisu gulung pada tahun 1890. Penemuan ini mendorong industrialisasi produksi tisu secara masif.
Berdasarkan laporan CNN, setelah kemunculan pabrik tisu di berbagai wilayah Eropa dan Amerika, kebiasaan cebok menggunakan tisu makin mengakar hingga kini, bahkan menjadi bagian dari standar kebersihan modern versi Barat.
Namun, sejumlah penelitian medis menunjukkan bahwa metode cebok menggunakan air lebih bersih dibandingkan tisu.
Menurut pakar kesehatan, air dapat menghilangkan lebih banyak bakteri dan kotoran daripada tisu kering yang hanya menyeka permukaan.
Ini juga menjadi alasan mengapa toilet dengan semprotan air atau bidet kini mulai dilirik oleh masyarakat Barat yang lebih sadar akan kebersihan area intim.
Meski demikian, perbedaan ini tidak bisa dilepaskan dari faktor budaya yang telah mengakar selama ratusan tahun. Bagi sebagian besar masyarakat Barat, menggunakan tisu toilet sudah menjadi warisan turun-temurun.