Sementara itu, Presiden ERIA, Tetsuya Watanabe mengapresiasi peran besar Samdech Techo Hun Sen dalam membawa Kamboja keluar dari konflik menuju era perdamaian dan pembangunan.
“Kuliah ini mengajak kita melihat kembali bagaimana Kamboja bisa berubah secara luar biasa, dan siapa sosok yang ada di baliknya. Nama Samdech Techo tak bisa dipisahkan dari proses perdamaian Kamboja. Lewat dedikasi, tekad, dan diplomasi selama puluhan tahun, beliau membantu mengubah negara yang dulu dilanda perang menjadi negara yang damai dan terus bertumbuh,” ujar Watanabe.
Dalam pidatonya yang berjudul “Perdamaian dan Rekonsiliasi Nasional di Kamboja: Pelajaran bagi Asia Tenggara”, Samdech Techo Hun Sen menegaskan bahwa Kebijakan Win-Win yang diusung Kamboja merupakan contoh nyata bagaimana perdamaian yang inklusif dan berkelanjutan bisa diwujudkan.
“Kebijakan Win-Win berhasil mewujudkan perdamaian penuh dan menyatukan kembali wilayah Kamboja pada tahun 1998 – semuanya tanpa pertumpahan darah,” jelasnya.
Ia juga mengenang masa-masa sulit, termasuk keputusannya pada tahun 1977 untuk menyeberang ke Viet Nam. Alih-alih mencari suaka, ia memilih meminta bantuan Viet Nam untuk membebaskan rakyat Kamboja dari kekejaman rezim Pol Pot.
“Tanpa dukungan Viet Nam, tak ada negara yang akan berani menggulingkan rezim kejam itu. Sangat penting bagi kita menjaga kebenaran sejarah ini, agar tragedi seperti itu tak terulang kembali,” katanya.
Samdech Techo Hun Senjuga menyinggung berbagai tantangan besar setelah Kamboja merdeka pada 7 Januari 1979, mulai dari membangun kembali sistem pemerintahan, menghidupkan kembali perekonomian, hingga memastikan rakyat punya cukup pangan.
“Kami memikul tanggung jawab besar untuk membangun kembali negara dari nol dengan melindungi rakyat, membangun institusi, dan memulihkan ekonomi,” ujarnya.
Selain itu, Samdech Techo Hun Sen juga menyebut peran penting Indonesia dalam proses perdamaian.
Baca Juga: Ingin Studi ke Luar Negeri? Ini 4 Buku Inspiratif yang Wajib Kamu Baca
Ia menjelaskan bahwa dirinya mengusulkan pembentukan Dewan Tingkat Tinggi untuk Unifikasi Nasional, yang kemudian dibahas dalam Jakarta Informal Meeting I (JIM I), meski belum mencapai kesepakatan saat itu.