Beberapa inisiatif mulai menonjol. Kurikulum Merdeka yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Program Adiwiyata dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menjadi dua contoh konkrit.
Kurikulum Merdeka menawarkan fleksibilitas. Topik perubahan iklim bisa diintegrasikan ke berbagai mata pelajaran, tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Salah satu fitur utamanya, Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), memungkinkan siswa untuk belajar melalui pengalaman langsung.
Mereka diajak mengamati lingkungan sekitar, mengidentifikasi masalah, lalu merancang solusi. Topik “Gaya Hidup Berkelanjutan” dalam P5 menjadi pintu masuk untuk pendidikan iklim yang aplikatif.
Di sisi lain, Program Adiwiyata mendorong sekolah menjadi agen perubahan. Sekolah yang tergabung didorong untuk menanamkan kesadaran lingkungan kepada siswa, tidak hanya melalui teori, tetapi juga lewat praktik nyata.
Evaluasi pembelajaran juga diarahkan pada tanggung jawab siswa terhadap pelestarian alam dan pembangunan berkelanjutan.
Pendidikan perubahan iklim menjadi semakin penting, terutama bagi generasi muda. Mereka akan menghadapi dampak perubahan iklim yang diprediksi akan semakin ekstrem dalam beberapa dekade ke depan. Karena itu, pendidikan iklim harus menjadi arus utama dalam sistem pendidikan formal.
Langkah selanjutnya Indonesia perlu merancang kebijakan khusus untuk pendidikan perubahan iklim. Kebijakan yang holistik, terintegrasi, dan tidak tumpang tindih. Tanpa kebijakan yang jelas, upaya integrasi akan sulit berkelanjutan.
Selain itu, perlu ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab. Penentuan peran ini krusial agar implementasi berjalan efektif, tidak saling lempar tanggung jawab.
Baca Juga: Mendagri Tito Curhat Bandingkan Kualitas Sekolah Anak di Indonesia dengan Singapura: Jakarta Mahal