Suara.com - Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menjadikan pendidikan perubahan iklim sebagai prioritas nasional.
Sebuah studi berjudul Climate Change Education in Indonesia’s Formal Education: A Policy Analysis oleh Kelvin Tang, kandidat PhD dari University of Tokyo, menemukan adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pendidikan dan kebijakan iklim.
Hal ini menyebabkan pendidikan perubahan iklim belum terintegrasi secara utuh dalam sistem pendidikan formal.
Namun, kondisi ini mulai berubah. Pemerintah menunjukkan komitmennya dengan mulai mengintegrasikan pendidikan perubahan iklim ke dalam kurikulum nasional sejak 2024.
Upaya ini bertujuan menyiapkan generasi muda yang tidak hanya sadar lingkungan, tetapi juga mampu menghadapi dampak krisis iklim dan berperan aktif dalam pembangunan berkelanjutan.

Direktur Mobilisasi Sumber Daya Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Franky Zamzani, menjelaskan bahwa tantangan krisis iklim sangat nyata, terutama bagi anak-anak.
Merujuk pada laporan UNICEF tahun 2021, lebih dari 1 miliar anak di dunia hidup di wilayah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
“Perubahan besar harus dimulai dari pendidikan. Dari rumah dan sekolah, dengan kebiasaan-kebiasaan kecil seperti mengurangi plastik sekali pakai hingga menggunakan transportasi umum,” ujarnya seperti dikutip dari ANTARA.
Kementerian Pendidikan, lewat Kemendikdasmen, merespons tantangan ini dengan prinsip RAMAH—Relevan, Afektif, Merujuk Pengetahuan, Aksi Nyata, dan Holistik. Kurikulum didesain agar siswa tak hanya memahami isu lingkungan secara teori, tetapi juga tergerak melakukan aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Mendagri Tito Curhat Bandingkan Kualitas Sekolah Anak di Indonesia dengan Singapura: Jakarta Mahal
Ketua Tim Kerja Pembelajaran, Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikdasmen, Nur Rofika Ayu Shinta, menjelaskan bahwa kerja sama dengan UNESCO juga menjadi bagian penting dari inisiatif ini. Fokusnya tidak hanya pada siswa, tetapi juga pada peningkatan kapasitas guru dan sekolah.
“Kurikulum ini menjadi landasan agar siswa mampu bertindak, walau dimulai dari hal kecil. Kami ingin mereka merasa bisa berkontribusi, bukan terbebani,” katanya.
Lebih dari itu, pendidikan perubahan iklim juga diarahkan untuk membuka peluang baru. Siswa didorong untuk melihat potensi di sektor ekonomi hijau, seperti energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, hingga teknologi ramah lingkungan. Ini bukan sekadar pembelajaran, tetapi investasi masa depan.
Prosesnya masih panjang, dan tantangan belum selesai. Namun, dengan pendekatan berbasis data, keterlibatan komunitas, dan pelatihan untuk pendidik, pemerintah berharap pendidikan perubahan iklim dapat membentuk budaya sekolah yang sadar lingkungan dan menjadi bagian dari sistem pendidikan yang berkelanjutan.
Mulai tunjukkan komitmen
Meski belum ideal, tanda-tanda perubahan mulai terlihat. Kelvin Tang, kandidat PhD dari University of Tokyo, menilai bahwa Indonesia kini mulai menunjukkan komitmen awal dalam memasukkan pendidikan perubahan iklim ke sistem pendidikan formal.
Beberapa inisiatif mulai menonjol. Kurikulum Merdeka yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Program Adiwiyata dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menjadi dua contoh konkrit.
Kurikulum Merdeka menawarkan fleksibilitas. Topik perubahan iklim bisa diintegrasikan ke berbagai mata pelajaran, tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Salah satu fitur utamanya, Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), memungkinkan siswa untuk belajar melalui pengalaman langsung.
Mereka diajak mengamati lingkungan sekitar, mengidentifikasi masalah, lalu merancang solusi. Topik “Gaya Hidup Berkelanjutan” dalam P5 menjadi pintu masuk untuk pendidikan iklim yang aplikatif.
Di sisi lain, Program Adiwiyata mendorong sekolah menjadi agen perubahan. Sekolah yang tergabung didorong untuk menanamkan kesadaran lingkungan kepada siswa, tidak hanya melalui teori, tetapi juga lewat praktik nyata.
Evaluasi pembelajaran juga diarahkan pada tanggung jawab siswa terhadap pelestarian alam dan pembangunan berkelanjutan.
Pendidikan perubahan iklim menjadi semakin penting, terutama bagi generasi muda. Mereka akan menghadapi dampak perubahan iklim yang diprediksi akan semakin ekstrem dalam beberapa dekade ke depan. Karena itu, pendidikan iklim harus menjadi arus utama dalam sistem pendidikan formal.
Langkah selanjutnya Indonesia perlu merancang kebijakan khusus untuk pendidikan perubahan iklim. Kebijakan yang holistik, terintegrasi, dan tidak tumpang tindih. Tanpa kebijakan yang jelas, upaya integrasi akan sulit berkelanjutan.
Selain itu, perlu ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab. Penentuan peran ini krusial agar implementasi berjalan efektif, tidak saling lempar tanggung jawab.