Hukum Berkurban untuk Orang yang Sudah Meninggal, Sah atau Tidak?

Rifan Aditya Suara.Com
Minggu, 25 Mei 2025 | 08:38 WIB
Hukum Berkurban untuk Orang yang Sudah Meninggal, Sah atau Tidak?
Ilustrasi Hewan Kurban - Hukum Berkurban untuk Orang yang Sudah Meninggal (Unsplash)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Berkurban menjadi salah satu ibadah umat Islam ketika memasuki Hari Raya Idul Adha. Lantas bagaimana hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal?

Kurban umumnya sangat dianjurkan bagi mereka yang telah memenuhi syaratnya. Hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal tentu berbeda dengan yang masih hidup.

Suara.com - Mengutip dari laman Nahdlatul Ulama (NU), kurban merupakan suatu proses menyembelih hewan ternak (kambing, sapi, domba, unta, kerbau) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Penyembelihan hewan kurban sendiri dilakukan daat Hari Raya Idul Adha dan hari tasyrik pada tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah.

Selain sebagai amalan mendekatkan diri kepada Allah SWT, berkurban juga dilakukan untuk meneladani kisah Nabi Ibrahim AS dan sang putra Ismail AS dalam memenuhi perintah Allah SWT sebagai wujud ketaatan serta pengorbanan yang tulus.

Tak hanya itu, Idul Adha juga menjadi sarana untuk mempererat solidaritas melalui pembagian daging kurban kepada sesama umat Islam yang membutuhkan.

Hukum Ibadah Kurban

Hukum ibadah kurban Idul Adha untuk orang muslim sendiri adalah sunnah muakkad. Namun khusus untuk Rasulullah SAW hukumnya adalah wajib.

Hal tersebut berdasarkan sabda beliau, salah satunya seperri yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi:

أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ   

Baca Juga: Perbedaan Puasa Arafah 2025 di Indonesia dan Arab, Kenapa Mulainya Tidak Sama?

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi). 

Kesunnahan dalam menjalani ibadah ini adalah sunnah kifayah. Sehingga apabila dalam keluarga ada satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah kesunnahan anggota yang lain.

Namun jika hanya satu orang yang menjalaninya maka hukumnya adalah sunnah ‘ain.

Adapun kesunnahan berkurban tersebut tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu secara financial.

وَالْاُضْحِيَة- ....(سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ 

“Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI