Suara.com - Kasus restoran Ayam Goreng Widuran Solo sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya baru-baru ini terungkap bahwa restoran tersebut menggunakan minyak babi untuk menggoreng ayam dan kremesannya.
Yang membuat kontroversi, pernyataan soal penggunaan minyak babi di salah satu restoran ayam legendaris di Solo ini baru diungkap oleh pihak manajemen setelah 50 tahun lebih restoran berdiri.
Hal ini pun diungkap pihak manajemen melalui akun Instagram mereka @ayamgorengwiduransolo pada Jumat (23/05/2025) lalu.
"Kepada seluruh pelanggan Ayam Goreng Widuran, kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kegaduhan yang beredar di media sosial belakangan ini," tulis manajemen di unggahan Instagram tersebut.
Sebelumnya, salah satu warganet mencoba bertanya soal kehalalan restoran Ayam Widuran ini dan pihak manajemen pun mengungkap bahwa ayam mereka menggunakan minyak babi.
"Sebagai langkah awal, kami telah mencantumkan keterangan NON HALAL secara jelas di seluruh outlet dan media sosial resmi kami," lanjut mereka.
![Ayam Goreng Widuran [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/25/44332-ayam-goreng-widuran.jpg)
Pengumuman ini pun sontak menjadi viral, terlebih banyak pelanggan mereka yang beragama Muslim.
Tak hanya warganet, pihak Pemerintah Kota Solo juga menindaklanjuti soal kasus ini dengan langkah menutup sementara restoran ini serta mengambil sampel makanan untuk diuji soal kehalalan-nya dan diawasi oleh BPOM.
Padahal, resto ini juga pernah menuliskan tulisan "Halal" di banner depan restoran mereka beberapa tahun lalu sebelum kasus ini meledak di masyarakat.
Baca Juga: Berapa Harga Ayam Goreng Widuran Solo? Viral Baru Umumkan Nonhalal
Di Indonesia sendiri, kebijakan restoran halal dan nonhalal dalam kategori makanan serta minuman sendiri sudah cukup tegas. Ada hukum yang berlaku jika ada restoran yang berani mengklaim restorannya halal padahal belum tersertifikasi.
Lalu, apa hukum yang berlaku jika ada restoran nonhalal namun memasang logo halal di restoran mereka? Simak inilah selengkapnya.
Sanksi Hukum Restoran Nonhalal Mencantumkan Label Halal
Di Indonesia, penggunaan logo halal di tempat makan merupakan hal yang sangat sensitif terutama bagi konsumen Muslim yang mengandalkan logo tersebut untuk memastikan makanan yang dikonsumsi sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pemerintah Indonesia melalui berbagai peraturan telah menetapkan aturan ketat mengenai pencantuman logo halal, termasuk larangan keras bagi pelaku usaha yang menggunakan logo halal tanpa sertifikasi yang sah. Tindakan ini bukan hanya melanggar etika bisnis, tetapi juga merupakan pelanggaran hukum yang serius.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), setiap produk yang mengklaim sebagai halal dan dipasarkan di Indonesia wajib memperoleh sertifikasi halal dari otoritas yang berwenang, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Dalam prosesnya, BPJPH bekerja sama dengan LPPOM MUI sebagai lembaga pemeriksa halal. Logo halal resmi hanya boleh dicantumkan setelah pelaku usaha mendapatkan sertifikat halal tersebut.

Jika sebuah restoran terutama yang menyajikan produk non-halal dengan sengaja mencantumkan logo halal tanpa sertifikasi yang sah, maka tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi hukum.
Menurut penjelasan dari situs Hukumonline, pencantuman logo halal yang tidak sesuai standar nasional dapat dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran tertulis, denda, hingga pencabutan izin usaha. Denda administratif yang diatur dalam UU JPH dapat mencapai hingga Rp2 miliar.
Jika tindakan tersebut dianggap menyesatkan konsumen, pelaku usaha juga bisa dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) karena dianggap memberikan informasi palsu. Dalam konteks ini, pelaku dapat dikenai pidana penjara hingga lima tahun atau denda maksimum Rp2 miliar.
LPPOM MUI sebagai lembaga yang selama ini memverifikasi kehalalan produk menegaskan bahwa tempat makan tidak diperkenankan memasang logo halal sebelum proses sertifikasi selesai dan disetujui.
Jika ditemukan pelanggaran, mereka berhak melaporkan kasus tersebut kepada BPJPH untuk ditindaklanjuti secara hukum.
Selain risiko hukum, pencantuman logo halal secara sembarangan juga membawa dampak reputasi yang serius bagi pelaku usaha. Konsumen yang merasa tertipu bisa kehilangan kepercayaan dan hal ini akan berdampak pada keberlangsungan bisnis dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, pelaku usaha disarankan untuk mengikuti prosedur sertifikasi halal dengan benar dan tidak mencoba mengecoh konsumen demi keuntungan jangka pendek.
Mencantumkan logo halal tanpa sertifikasi resmi di Indonesia merupakan salah satu pelanggaran hukum yang memiliki konsekuensi serius, baik secara administratif maupun pidana.
Hal ini penting bagi pelaku usaha untuk memahami bahwa label halal bukan sekadar simbol, melainkan bentuk jaminan kepada konsumen bahwa produk atau makanan yang mereka konsumsi telah melalui proses verifikasi sesuai syariat Islam.
Kini, pihak manajemen resto Ayam Goreng Widuran pun harus berurusan dengan pihak pemerintah Solo akibat kasus nonhalal ini. Pihak Pemkot Solo sendiri mengambil tindakan untuk menutup sementara dan akan melimpahkan kasus ini ke pihak yang berwenang.
Kontributor : Dea Nabila