Habitat: Koleksi KHAYAE di IFW 2025, Fashion Sebagai 'Rumah' Bagi Jiwa dan Alam

Dinda Rachmawati Suara.Com
Senin, 02 Juni 2025 | 10:37 WIB
Habitat: Koleksi KHAYAE di IFW 2025, Fashion Sebagai 'Rumah' Bagi Jiwa dan Alam
Habitat: Koleksi KHAYAE di IFW 2025, Fashion Sebagai Rumah Bagi Jiwa dan Alam (Dok. KHAYAE)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pada hari pertama Indonesia Fashion Week (IFW) 2025, panggung runway disulap menjadi lanskap magis yang membawa penonton menelusuri rimba tropis, menjelajahi akar budaya, dan menyelami hubungan mendalam antara manusia dan alam

Adalah KHAYAE, kolektif desainer perempuan visioner, Elok Re Napio, Mawadah Maslikhan Ilona, Yati Silvia, dan Nathania Caya Dewi yang mempersembahkan koleksi bertajuk Habitat, membuka perhelatan mode tahunan ini dengan narasi yang kuat dan menyentuh.

Koleksi Habitat bukan sekadar peragaan busana. Ia adalah pernyataan artistik tentang keterikatan manusia dengan lingkungan dan budaya yang membentuknya. 

Terinspirasi dari berbagai habitat dunia, fokus koleksi ini tertuju pada hutan, bukan hanya sebagai ruang ekologis, tetapi juga ruang spiritual dan budaya yang menjadi akar kehidupan masyarakat Indonesia.

“Hutan adalah habitat leluhur kita. Di sana budaya tumbuh, upacara digelar, mitologi hidup, dan alam menyediakan segalanya,” ujar Ilona, salah satu perancang utama koleksi ini. 

Habitat: Koleksi KHAYAE di IFW 2025, Fashion Sebagai Rumah Bagi Jiwa dan Alam (Dok. KHAYAE)
Habitat: Koleksi KHAYAE di IFW 2025, Fashion Sebagai Rumah Bagi Jiwa dan Alam (Dok. KHAYAE)

“Kami ingin menunjukkan bahwa pakaian bisa menjadi rumah, bagi jiwa, bagi alam, dan bagi identitas kita yang sesungguhnya,” tambahnya.

Siluet, Material, dan Imajinasi Rimba

Ragam desain dalam koleksi ini menciptakan pengalaman visual yang menyentuh. Gaun panjang dengan potongan mengalir menyerupai akar menjuntai, cape lebar yang menghadirkan ilusi kanopi hutan, serta atasan dengan tekstur seperti kulit pohon, membentuk siluet yang seolah tumbuh dari tanah dan menyatu dengan pepohonan.

Detailnya tak kalah mengagumkan, teknik felted menghasilkan efek lumut dan kulit kayu, sulaman rumit menggambarkan dedaunan, akar, hingga fauna hutan seperti kupu-kupu, tokek, dan burung.

Baca Juga: Longsor Tambang Galian Gunung Kuda, Korban Meninggal Bertambah Jadi 17 Orang

Semua ini disempurnakan dengan pewarna alam seperti daun indigo, kulit pohon, dan akar mengkudu, menciptakan palet warna yang organik, hijau lumut, coklat tanah, krem akar, merah saga, hingga hitam batu.

Salah satu bahan utama yang menjadi sorotan dalam koleksi ini adalah tenun bulu, wastra tradisional Indonesia yang masih jarang tersentuh dalam arus mode kontemporer. Kain ini dipilih bukan tanpa alasan. 

“Tenun bulu punya karakteristik yang sangat kuat dan alami. Teksturnya mengingatkan kita pada akar dan batang pohon, sangat pas untuk mewakili imaji rimba leluhur,” jelas tim KHAYAE.

Dalam dunia fashion yang sering terjebak dalam tren instan, penggunaan pewarna alam adalah keputusan yang penuh kesadaran. 

Meski diakui masih belum 'seksi' di pasar komersial karena prosesnya yang panjang dan harga yang lebih tinggi, tim KHAYAE menegaskan pentingnya mengembalikan nilai kepada proses dan cerita di balik sehelai kain.

“Pewarna alam bukan sekadar estetika. Ini adalah sikap. Ia membawa pengetahuan leluhur dan lebih ramah lingkungan. Kami ingin mengajak pasar untuk melihat nilai di luar harga, yaitu dampaknya terhadap bumi dan budaya,” tutur Ilona.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI