Suara.com - Nama Dedi Mulyadi belakangan ramai diperbincangkan di berbagai platform. Sosok yang akrab disapa KDM (Kang Dedi Mulyadi) ini dikenal bukan hanya lewat karier politiknya, tetapi juga lewat gaya kepemimpinan yang sarat dengan sentuhan populisme.
Mantan Bupati Purwakarta dua periode tersebut kerap tampil di tengah masyarakat kecil, membuatnya lekat dengan citra pemimpin yang ‘merakyat’ — meski tak jarang menuai kontroversi.
Di balik pujian atas kepeduliannya kepada rakyat, pendekatan populis Dedi juga memunculkan kritik dari sejumlah kalangan yang menilai aksi-aksinya di media sosial lebih condong ke pencitraan daripada kebijakan substantif.
Apa Itu Populisme?
Menurut penelitian dari University of Oslo, populisme lekat dengan figur pemimpin kharismatik yang menampilkan gaya unik dan berupaya membela kepentingan rakyat dibanding elite politik.
Ciri khas populisme meliputi penampilan sederhana, keengganan menjaga jarak dengan warga, serta mengedepankan sensitivitas sosial ketimbang birokrasi formal.
Namun, pendekatan ini pun rawan dipersoalkan, terutama jika digunakan untuk sekadar membangun citra pribadi di ruang publik ketimbang melahirkan perubahan nyata.
Berikut adalah beberapa fakta menarik di balik gaya populisme ala Dedi Mulyadi:
1. Blusukan Langsung Menyapa Rakyat
Baca Juga: Dedi Mulyadi Hapus PR untuk Siswa: Strategi Pendidikan atau Sekadar Dorongan Populis Semata?
Gubernur Jawa Barat ini dikenal luas karena kebiasaannya blusukan ke berbagai wilayah, bahkan ke rumah-rumah warga, ia tidak segan duduk di lantai, menyantap makanan sederhana bersama pedagang, atau berbicara langsung dengan pedagang kaki lima tanpa sekat.
Aksi ini menunjukkan bagaimana Dedi berusaha membaur dengan masyarakat secara langsung, menghilangkan jarak antara pemimpin dan rakyat. Inilah ciri khas utama populisme, menjadikan rakyat sebagai pusat perhatian dan simbol perjuangan politik.
2. Aktif di Media Sosial untuk Membangun Narasi "Pemimpin Dekat Rakyat"
Melalui channel Youtube pribadinya, Dedi aktif membagikan momen-momen ketika ia membantu masyarakat. Video dirinya blusukan ke warga, menyantuni pedagang, hingga menghadapi langsung kasus sosial kerap viral dan mengundang simpati.
Namun, ini juga menjadi ruang kritik, sebagian pihak menyebut Dedi terlalu mengandalkan kamera dalam aksi sosialnya, dan menyayangkan jika itu dilakukan semata-mata demi membangun citra. Kritik ini sering kali muncul dalam diskusi di media sosial soal apakah populisme seharusnya fokus pada substansi atau simbol.
3. Gaya Bicara Sederhana dan Humor Lokal