Suara.com - Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata berkomitmen memfasilitasi pengelola Geopark Kaldera Toba dan pemerintah daerah untuk mendapatkan kembali status kartu hijau dari UNESCO. Saat ini, status geopark yang berada di Provinsi Sumatera Utara itu sedang dalam sorotan, setelah menerima kartu kuning pada September 2023 dari badan PBB tersebut karena dinilai memiliki kelemahan dalam pengelolaan dan sarana pendukung.
Dalam kunjungannya ke Simalungun, Sumatera Utara pada Selasa (8/7), Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menekankan pentingnya merawat Geopark Kaldera Toba bukan hanya sebagai situs wisata, tetapi juga sebagai warisan geologi, hayati, dan budaya yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Batak.
"Status geopark bukan hanya sebagai bentuk perlindungan, tetapi juga sebagai peluang untuk membuka ruang pembelajaran dan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan," kata Widiyanti dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu.

Ia menambahkan bahwa pengelolaan kawasan ini harus berorientasi pada tiga aspek: perlindungan, edukasi, dan keberlanjutan. Salah satu pembenahan yang disoroti adalah minimnya papan informasi edukatif di kawasan Danau Toba yang dapat membantu wisatawan memahami geosite yang ada.
"Sehingga nanti turis yang datang itu bisa mengerti tentang geosite-geosite ini dan memperoleh ilmu mulai terjadinya kawah dan jenis bebatuan yang ada di sini," ujarnya.
Keanekaragaman hayati endemik, kekayaan budaya Batak, serta keberadaan masyarakat yang masih menjaga tradisinya menjadikan Danau Toba sebagai model ideal geopark yang menyatukan ilmu pengetahuan, budaya, dan kehidupan sosial.
Gubernur Sumatera Utara Muhammad Bobby Afif Nasution turut menekankan pentingnya kolaborasi lintas pihak untuk memastikan potensi Geopark Kaldera Toba benar-benar memberikan manfaat langsung bagi warga.
"Mengoptimalkan potensi alam yang sudah dibentangkan dalam kehidupan ini agar bisa mendatangkan manfaat ekonomi hingga mampu menyejahterakan masyarakat yang ada di sekitarnya," ujarnya.
Dengan status geopark yang kini dipantau UNESCO, upaya perbaikan menjadi krusial—bukan semata demi mengembalikan predikat internasional, tetapi juga agar kawasan ini benar-benar menjadi contoh pengelolaan warisan alam dan budaya yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Baca Juga: Gumuk Pasir Parangtritis Resmi Jadi Geopark Nasional