7 Tanda Seseorang Pernah Alami Childhood Emotional Neglect, Sering Tidak Disadari

Jum'at, 11 Juli 2025 | 20:15 WIB
7 Tanda Seseorang Pernah Alami Childhood Emotional Neglect, Sering Tidak Disadari
Ilustrasi anak menyendiri (Freepik/freepik)

Suara.com - Pengabaian emosional di masa kecil merupakan bentuk luka batin yang dampaknya kerap tersembunyi di balik kepribadian yang tampak tenang dan mandiri.

Mereka yang mengalami kondisi ini bisa tumbuh dengan keyakinan bahwa perasaannya tidak berarti atau bahkan merasa bahwa emosinya tak layak untuk diungkapkan.

Kondisi yang sering disebut sebagai childhood emotional neglect ini muncul saat kebutuhan emosional anak tidak terpenuhi secara konsisten oleh orangtua.

Meski tampak baik-baik saja, jejak pengabaian ini terbawa hingga dewasa, memengaruhi cara berpikir, dan membentuk hubungan seseorang.

Tanda-tandanya sering kali tak kasat mata. Bukan ledakan emosi, melainkan kebiasaan menahan perasaan, merasa kosong, atau terlalu mandiri.

Dilansir dari laman Your Tango berikut adalah beberapa tanda seseorang mungkin pernah mengalami childhood emotional neglect, meski terlihat kuat di luar.

Ilustrasi anak dan orang tuanya yang telah bercerai (Freepik/freepik)
Ilustrasi anak dan orang tua (Freepik/freepik)

1. Sulit Meminta Bantuan

Orang yang tumbuh dengan pengabaian emosional seringkali merasa kesulitan untuk meminta bantuan. Mereka belajar sejak dini bahwa kebutuhan mereka cenderung tidak akan terpenuhi atau bahkan diabaikan.

Akibatnya, mereka terbiasa untuk mengatasi segala sesuatunya sendirian, bahkan saat merasa terbebani. Meminta pertolongan terasa seperti sebuah kelemahan atau seolah-olah mereka merepotkan orang lain.

Baca Juga: 8 Warna Cat Tembok yang Baik untuk Kesehatan Mental, Bikin Hati Tenang dan Pikiran Rileks

2. Kecemasan Sosial yang Tinggi

Kecemasan saat berada di tengah keramaian bisa menjadi tanda lain dari luka batin ini.
Mereka sering merasa tidak nyaman dan canggung dalam interaksi sosial.

Perasaan ini muncul karena mereka tidak pernah mendapatkan validasi emosional yang cukup di masa kecil. Hal ini membuat mereka meragukan tempat mereka di lingkungan sosial dan takut akan penolakan.

3. Merasa Berbeda dari Orang Lain

Perasaan mendalam bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri mereka adalah hal yang umum terjadi. Mereka mungkin merasa terasing dan berbeda dari orang-orang di sekitar mereka.

Ini adalah cerminan dari pesan tersirat yang mereka terima saat kecil bahwa perasaan mereka tidaklah penting. Perasaan berbeda ini sering kali disertai dengan rasa malu yang sulit untuk dijelaskan.

4. Sensitivitas Tinggi terhadap Penolakan

Karena kebutuhan mereka sering tidak dipenuhi, mereka menjadi sangat sensitif terhadap segala bentuk penolakan. Kritik kecil atau pengabaian ringan bisa terasa seperti pukulan emosional yang sangat menyakitkan.

Mereka bisa menjadi sangat waspada terhadap tanda-tanda bahwa orang lain mungkin akan meninggalkan mereka. Ketakutan ini membuat mereka sulit untuk membangun kepercayaan dalam sebuah hubungan.

5. Kesulitan Mengidentifikasi Perasaan

Ketika perasaan seorang anak terus-menerus diabaikan, mereka tidak belajar cara mengenali dan menamainya. Hingga dewasa, mereka mungkin kesulitan untuk memahami apa yang sebenarnya mereka rasakan.

Mereka mungkin tahu bahwa mereka merasa tidak enak, tetapi tidak bisa mengidentifikasi apakah itu kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan. Kondisi ini dikenal sebagai alexitimia, atau ketidakmampuan untuk menggambarkan emosi dengan kata-kata.

6. Rendahnya Rasa Percaya Diri

Rasa percaya diri yang rapuh seringkali menjadi dampak jangka panjang dari pengabaian emosional. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka tidak cukup baik atau tidak berharga.

Perasaan ini dapat menghambat mereka dalam mencapai potensi penuh, baik dalam karir maupun hubungan pribadi. Mereka cenderung meremehkan kemampuan diri sendiri dan sulit menerima pujian tulus dari orang lain.

7. Cenderung Menjadi People Pleaser

Untuk mendapatkan perhatian dan validasi yang tidak mereka peroleh, mereka sering kali menjadi people pleaser atau penyenang orang lain. Mereka belajar bahwa dengan memenuhi kebutuhan orang lain, mereka mungkin akan diterima.

Pola ini membuat mereka sering mengorbankan kebutuhan dan keinginan pribadi demi orang lain. Mereka merasa sulit untuk mengatakan tidak karena takut mengecewakan atau ditinggalkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI