Suara.com - Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan yang bisa kita abaikan. Menurut Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. Eddy Soeparno, kita sudah memasuki fase krisis iklim yang nyata dan mendesak untuk diatasi.
Bukan hanya soal peningkatan suhu atau cuaca ekstrem, tetapi ancaman nyata yang sudah dirasakan sehari-hari—dari kualitas udara yang memburuk, polusi yang menggunung, hingga banjir yang semakin sering melanda berbagai wilayah.
Inilah yang dibahas oleh lebih dari 150 anak muda dari Jabodetabek dalam dialog "Touch Base Bareng DPR: Catch Up Komitmen Iklim Indonesia" di Artotel Thamrin, Jakarta, Jumat (8/8/2025).
Acara ini menghubungkan warga perkotaan dengan anggota DPR dari dapil mereka. Dalam suasana santai, mereka membahas dua RUU prioritas Prolegnas 2025, yaitu RUU Pengelolaan Perubahan Iklim (PPI) dan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), serta komitmen iklim Indonesia yang tertuang dalam Second NDC.
Acara yang merupakan kolaborasi dari Bijak Memantau, Westminster Foundation for Democracy (WFD), dan UK PACT ini membuka ruang bagi masyarakat untuk berdialog langsung dan menyampaikan aspirasi soal kebijakan iklim.
Legislatif Tidak Tinggal Diam
“RUU Energi Baru dan Terbarukan sudah masuk tahap akhir dan ditargetkan bisa disahkan akhir tahun ini,” ujar Dr. Eddy.
Ini jadi langkah konkret Indonesia menghadapi krisis yang semakin mendesak.
Namun, langkah legislatif harus didukung kolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintah, dunia usaha, akademisi, hingga komunitas dan masyarakat luas.
Baca Juga: Krisis Sampah Plastik Memburuk, Mengapa Dunia Masih Terbelah soal Solusinya?
Wakil rakyat lain, H. Jalal Abdul Nasir, mengingatkan bahwa transisi energi bersih harus berjalan adil dan inklusif.
“Kita harus bergerak bersama untuk menjaga lingkungan sekaligus membuka lapangan kerja hijau dan memperkuat ketahanan ekonomi bangsa,” katanya.
Isu perubahan iklim juga bukan sekadar statistik. Nurwayah, anggota DPR dari Dapil Jakarta III, menyampaikan bahwa masyarakat sudah merasakan dampaknya langsung, seperti polusi udara dan banjir.
“Kebijakan iklim harus benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan terdampak,” tambahnya.
Net Zero Emission 2060
Sebagai pimpinan MPR, Dr. Eddy membuka ruang kolaborasi luas untuk bersama-sama mempercepat penanganan krisis iklim dan transisi energi.
Ia menjelaskan bahwa meskipun target net zero emission ditetapkan pada 2060, bukan berarti pembangunan energi terbarukan tidak akan dipercepat. Justru sebaliknya, pemerintah dan parlemen berkomitmen mempercepat proses transisi ini.
Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, Indonesia berencana membangun sekitar 70 gigawatt (GW) kapasitas listrik baru.
Dari jumlah tersebut, sekitar 52 GW akan berasal dari sumber energi baru dan terbarukan, termasuk pembangunan baterai nasional sebagai penunjang energi hijau.
Proses pengembangan energi ini diperkirakan akan membutuhkan investasi sekitar 170 miliar dolar AS selama satu dekade ke depan.
“Kami yakin dengan dukungan penuh dari parlemen, komunitas, LSM, dan pelaku usaha, program ini bisa berjalan lancar tanpa hambatan berarti,” tambah Dr. Eddy.
Ia optimis bahwa pada tahun 2034 hingga 2040, kontribusi energi terbarukan terhadap total pasokan listrik nasional akan mencapai lebih dari 36 persen. Hal ini diharapkan bisa mempercepat pencapaian target net zero emission yang semula direncanakan pada 2060.
Dengan komitmen dan kerja sama semua pihak, Indonesia optimis bisa mempercepat transisi energi bersih dan meraih target net zero emission lebih cepat dari tahun 2060.
Investasi besar-besaran telah dipersiapkan untuk membangun energi baru terbarukan, termasuk baterai nasional, demi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.