Dedi Mulyadi Berlutut di Depan Kereta Kencana: Antara Pelestarian Budaya dan Tuduhan Penistaan Agama

Andi Ahmad S Suara.Com
Senin, 25 Agustus 2025 | 12:56 WIB
Dedi Mulyadi Berlutut di Depan Kereta Kencana: Antara Pelestarian Budaya dan Tuduhan Penistaan Agama
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (YouTube/Deddy Corbuzier)
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi [X]
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi [X]

Komentar pedas dari warganet pun membanjiri unggahan tersebut:

"Ulama2 di purwakarta dulu sudah kasuskan si dedi ini ke kepolisian, krna menistakan islam dan Rasulullah. Tapi gak ditahan," kata akun @ON***A.

"Bisa kita bayangkan perjuangan para wali 9 dalam meluruskan aqidah, agar agama dan budaya tidak berbenturan, mana kebiasaan budaya yg boleh dilanjutkan mana yg tidak," timpal @RE***AN.

"Silahkan melestarikan budaya tapi jika bertentangan dengan tauhid wajib kita tolak.," imbuh @ca***OB.

"Tinggalkan pemimpin yg suka dg perbuatan syirik..," timpal @ar***_r.

Kereta kencana dalam tradisi Sunda dan Jawa seringkali bukan sekadar alat transportasi, melainkan benda pusaka yang sarat akan nilai filosofis dan sejarah.

Memberikan hormat bisa diartikan sebagai bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai, seni, dan sejarah yang melekat pada objek tersebut, bukan pada entitas gaib yang diasosiasikan dengannya.

Budaya Sunda sendiri sangat menjunjung tinggi sopan santun dan rasa hormat (someah hade ka semah), tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga pada warisan dan alam.

momen Dedi Mulyadi hormat kepada perempuan berkostum Nyi Roro Kidul (X.com)
momen Dedi Mulyadi hormat kepada perempuan berkostum Nyi Roro Kidul (X.com)

Perdebatan ini pun menjadi cerminan dari tarik-menarik yang kerap terjadi di Indonesia antara praktik budaya lokal dan interpretasi ajaran agama yang puritan.

Baca Juga: 7 Fakta Drama Ridwan Kamil: DNA Negatif, Tapi Misteri Uang Bulanan Muncul

Dedi Mulyadi, yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati Purwakarta, memang dikenal sebagai politisi yang sangat lekat dengan identitas dan simbol-simbol budaya Sunda.

Selama kepemimpinannya di Purwakarta, ia kerap mempromosikan festival budaya dan membangun monumen yang terinspirasi dari filosofi Sunda.

Kedekatannya ini pula yang membuatnya tidak asing dengan kontroversi serupa. Beberapa kebijakannya di masa lalu juga pernah menuai kritik dari kelompok agamis yang menganggapnya melakukan sinkretisme atau mencampuradukkan ajaran agama dengan kepercayaan lokal.

Namun, Dedi kerap membela tindakannya sebagai upaya merawat kekayaan budaya agar tidak punah tergerus zaman.

Kontributor : Mira puspito

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?