Rakyat Menggugat: Berkaca dari Revolusi Prancis untuk Kondisi Indonesia

M Nurhadi Suara.Com
Kamis, 04 September 2025 | 16:31 WIB
Rakyat Menggugat: Berkaca dari Revolusi Prancis untuk Kondisi Indonesia
Hukuman guillotine untuk keturunan kerajaan dalam Revolusi Prancis (Anonymous/Public Domain)
Baca 10 detik
  • Pemicu revolusi: krisis, ketidakadilan, ide Pencerahan.
  • Perlawanan rakyat terhadap monarki dan elit.
  • Ide revolusi menginspirasi perjuangan kebebasan global.

Suara.com - Revolusi Prancis, sebuah peristiwa bersejarah yang meletus pada tahun 1789, bukanlah sekadar pemberontakan sesaat. Belakangan, revolusi perancis banyak dibahas , seiring ketidakpuasan publik terhadap pejabat.

Peristiwa ini adalah puncak kemarahan rakyat terhadap pemerintahan yang korup, foya-foya di atas penderitaan rakyat, pajak tinggi dan ketidakadilan.

Peristiwa ini mengguncang dunia dan selamanya mengubah peta politik, meninggalkan warisan berupa ide-ide kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan yang terus menginspirasi perjuangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Untuk memahami mengapa revolusi ini terjadi, kita harus melihat tiga faktor utama yang saling berkaitan: krisis ekonomi, ketidakadilan sosial, dan gelombang ide Pencerahan.

Penyebab dan Kronologi Revolusi Prancis

Sebelum revolusi, Prancis berada di ambang kebangkrutan. Kerajaan Prancis memiliki tumpukan utang yang sangat besar akibat pemborosan, gaya hidup mewah istana, dan keterlibatan dalam serangkaian perang yang mahal, seperti Perang Tujuh Tahun dan dukungan terhadap Perang Kemerdekaan Amerika.

Salah satu kondisi yang disorot saat itu adalah gaya hidup permaisuri, Marie Antoinette yang dijuluki Madam Deficit, merujuk pada gaya hidupnya yang mewah hingga membuat keuangan negara sulit.

Alih-alih mencari solusi yang adil, pemerintah Raja Louis XVI justru memilih jalan pintas: menaikkan pajak yang mencekik rakyat jelata.

Krisis ini diperparah oleh sistem sosial yang sangat timpang, dikenal sebagai Ancien Régime atau Sistem Tiga Estat. Masyarakat Prancis dibagi menjadi tiga golongan:

Baca Juga: Omara Esteghlal Bandingkan Pajak Indonesia dengan Negara Maju, Singgung Kualitas Fasilitas Publik

  • Golongan Pertama: Para pemuka agama (pendeta dan biarawan), yang menguasai sekitar 10% tanah dan bebas dari pajak.
  • Golongan Kedua: Para bangsawan, yang memiliki kekuasaan dan hak istimewa, termasuk bebas dari pajak, meskipun menguasai hampir 25% tanah.
  • Golongan Ketiga: Golongan terbesar, yang mencakup 97% populasi, dari para petani miskin hingga borjuis (kaum pedagang, pengusaha, dan profesional). Merekalah yang menanggung beban pajak paling berat, tidak memiliki hak politik, dan hidup dalam kemiskinan.

Ketidakadilan ini menciptakan jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin. Sementara bangsawan dan pendeta berpesta pora di istana, rakyat jelata harus berjuang keras hanya untuk makan sehari-hari.

Pada saat yang sama, gagasan-gagasan dari era Pencerahan menyebar luas. Para filsuf seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Montesquieu menyuarakan ide tentang hak-hak alami manusia, kebebasan, dan kedaulatan rakyat.

Mereka menentang konsep hak ilahi raja, yaitu keyakinan bahwa kekuasaan raja berasal dari Tuhan. Ide-ide ini menyulut kesadaran di kalangan rakyat, bahwa penderitaan mereka bukanlah takdir, melainkan akibat dari sistem yang bobrok.

Puncaknya terjadi pada 14 Juli 1789, ketika rakyat yang marah menyerbu Penjara Bastille. Meskipun penjara ini hanya dihuni oleh segelintir narapidana, Bastille adalah simbol kuat dari tirani dan kekuasaan absolut raja.

Penyerbuan ini menjadi momen simbolis yang menandai dimulainya revolusi besar, yang akhirnya menggulingkan monarki, menghapus sistem feodalisme, dan memproklamasikan hak-hak asasi manusia.

Revolusi Prancis dan Kaitannya dengan Indonesia

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Mau notif berita penting & breaking news dari kami?