Keraton Yogya akan Minta Penjelasan Pengusaha Penggugat PKL Rp1 M

Siswanto Suara.Com
Senin, 14 September 2015 | 14:05 WIB
Keraton Yogya akan Minta Penjelasan Pengusaha Penggugat PKL Rp1 M
Lima PKL yang digugat Rp1 miliar oleh pengusaha Eka Aryawan topo pepe di depan Keraton Yogyakarta, Minggu (13/9/2015) [suara.com/Wita Ayodhyaputri]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anggota Tim Hukum Keraton Yogyakarta Kanjeng Raden Tumenggung Nitinegoro akan meminta klarifikasi kepada pengusaha Eka Aryawan terkait tuntutan Eka sebesar Rp1 miliar kepada lima pedagang kaki di Jalan Brigjen Katamso, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, sebesar Rp1 miliar.

"Kami akan minta klarifikasi ke Pak Eka terkait masalah ini, kami akan cek juga perjanjian pas dulu mengajukan kekancingannya itu," kata Nitinegoro dalam acara jumpa pers di Panitikismo Keraton Yogyakarta, Senin (14/9/2015).

Kelima pedagang yang digugat Eka yaitu Agung, Budiono (tukang duplikat kunci), Sutinah (penjual bakmi), Sugiyadi, dan Suwarni.

Nitinegoro mengatakan Keraton Yogyakarta prihatin dengan permasalahan yang dihadapi kelima pedagang kaki lima.

"Kami prihatin kenapa urusan sama PKL harus ke peradilan sampai tuntutannya miliaran dan itu tidak lazim, tapi mungkin sampai PN karena tidak ada kesepakatan," kata Nitinegoro.

Keraton Yogyakarta, kata Nitinegoro, berharap agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan.

Sengketa lahan tersebut, katanya, telah memberi pelajaran berharga. Ke depan, katanya, jika moratorium pemberian surat ijin kekancingan dicabut, Keraton akan lebih berhati - hati dan cermat memberikan surat kekancingan.

"Ke depannya Keraton jelas akan lebih berhati - hati kalau memberi kekancingan terutama kalau sudah ada yang memanfaatkan, tapi yang pasti Keraton tidak mungkin memberikan dua surat kekancingan untuk satu lokasi yang sama," kata Nitinegoro.

Nitinegoro menegaskan selama ini surat kekancingan yang diberikan kepada warga sudah berdasarkan pada aturan yang berlaku.

Lima pedagang kaki lima yang digugat pengusaha Eka lewat pengadilan itu, pada Minggu (13/9/2015) kemarin, melakukan topo pepe di depan Keraton Yogyakarta.

Agung mengatakan tujuan topo pepe agar Keraton mau mendengar keluh kesahnya dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan tempat berjualan.

"Jadi hari ini dengan menggunakan pakaian Jawa lengkap kami jalan dari tempat jualan kami sampai ke depan Keraton, kami berharap pihak Keraton bisa meminta pada Pak Eka agar mencabut tuntutannya, atau kalau tidak ya pihak Keraton mencabut surat kekancingan yang sudah diberikan kepada Pak Eka karena surat tersebut disalahgunakan untuk menggusur kami, pedagang kecil," kata Agung.

Agung dan empat pedagang ingin meminta keadilan dari Keraton yang telah mengeluarkan surat kekancingan terhadap pengusaha Eka.

Topo pepe pada jaman dulu dipakai sebagai bentuk penyampaian aspirasi warga biasa kepada Keraton. Ketika terkena masalah, mereka topo pepe untuk meminta keadilan Sultan atau Raja Yogyakarta. Topo Pepe, dulu juga dipakai untuk aksi protes atas kebijakan penguasa yang merugikan rakyat kecil.

Agung dan teman-temannya yang sudah berpuluh-puluh tahun menempati tanah di Jalan Brigjen Katamso merasa tidak salah. Mereka memiliki surat asli yang dikeluarkan pada jaman Belanda. Surat tersebut mengijinkan mereka untuk berjualan di lokasi tersebut.

"Ini memang tanah Keraton dari selatan sampai lampu merah, tapi waktu dulu dilakukan pengukuran ulang tanah yang kami gunakan berjualan tidak masuk dalam tanah yang kekancingannya diterima Pak Eka jadi seharusnya tidak ada masalah, kami juga punya surat dari jaman Belanda pakai bahasa Belanda karena tanah yang kami pakai ini sudah turun temurun," kata Agung.

Sampai akhirnya pada 20 Agustus 2015, dia mendapat surat dari petugas Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta yang berisi gugatan karena menempati tanah tanpa izin.

Budiono mengungkapkan masalah tersebut sudah muncul sejak 2011. Waktu itu, Eka mengklaim mendapatkan kuasa atas tanah milik Keraton Yogyakarta atau yang biasa disebut dengan kekancingan Magersari yang berada di lokasi tempat usaha Budiono dan empat rekannya.

"Pas tahun 2011 lalu tiba-tiba ada panggilan dari kelurahan, katanya tanah yang saya tempati untuk usaha sudah ada kekancingan untuk Pak Eka. Setelah itu kemudian kita berunding di sana," ujar Budiono.

Dalam perundingan, Budiono menjelasksan bahwa dia juga merasa memiliki hak atas tanah tersebut. Itu sebabnya, dia menolak pindah.

"Setiap tahunnya saya juga membayar iuran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sebesar Rp6.000 ke kelurahan. Dan surat dari zaman Belanda (1933) yang saya miliki itu juga diketahui oleh pihak kelurahan," kata Budiono.

Dalam surat yang gugatan, Budiono dan empat rekannya dituntut membayar Rp30 juta per tahun sebagai ganti kerugian materil terhitung sejak tahun 2011 dan Rp1 miliar untuk kerugian imateriil karena beban pikiran, mental, dan psikis yang dialami oleh pengusaha Eka, ditambah lagi uang paksa (Dwangsom) sebesar Rp1 juta per hari.

"Saya bingung lha wong penghasilan saya saja per harinya kurang lebih hanya Rp100ribu, terus kalau disuruh bayar Rp1 miliar itu mau dibayar pakai apa?" ujar Budiono. (Wita Ayodhyaputri)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI