Suara.com - HRWG menyesalkan kemunculan Surat Edaran Gubernur Sumatera Barat tertanggal 6 Maret 2017 bernomor No.521/1984/Dintanhorbun/2017 tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi yang potensi digunakan untuk merampas tanah masyarakat secara sewenang-wenang, mengancam hak atas kepemilikan pribadi. Selain itu adanya potensi pelibatan militer pada operasi non-perang yang melanggar UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional (TNI) Indonesia dengan dalih swasembada pangan.
Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz menjelaskan negara wajib memastikan penikmatan hak atas pangan dan kehidupan yang layak. Namun pelaksanaan kewajiban itu tidak boleh dilakukan dengan cara memaksa masyarakat untuk bertani.
“Bahkan memberikan ancaman adanya pengambilan lahan oleh militer dan UPT Kecamatan. Kebijakan Pemerintah seharusnya diarahkan untuk mendukung usaha tani yang telah dilakukan oleh masyarakat, dengan jaminan infrastruktur, fasilitas alat-alat pertanian, pupuk dan bibit yang murah dan mudah diakses, termasuk kebutuhan petani lainnya,” kata dia dalam siaran persnya, Kamis (9/3/2017).
Kata dia, hak atas kepemilikan lahan atau tanah merupakan hak dijamin oleh oleh Konstitusi, UU Pokok Agraria, dan sejumlah aturan yang lain. Mengambil lahan secara paksa tanpa persetujuan bebas dari warga negara dengan alasan lahan tersebut tidak ditanami merupakan tindakan sewenang-wenang oleh Negara dan melanggar jaminan hak atas tanah.
Pemberian wewenang kepada TNI untuk masuk ke wilayah operasi non-perang bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menegaskan bahwa pelibatan TNI ini hanya dapat ditetapkan oleh Presiden, tidak oleh Pemerintah Daerah apalagi hanya melalui Surat Edaran. Hingga sekarang, Indonesia belum memiliki UU perbantuan militer yang seharusnya mengatur operasi non-perang ini, sehingga kewenangan yang diberikan hanya melalui Surat Edaran sangat potensial memunculkan dampak pelanggaran HAM.
“Arahan SE untuk membuat perjanjian baru antara pengelola (UPR Kecamatan) dan Koramil semakin menguatkan pelanggaran terhadap UU TNI di atas, karena institusi pemerintahan di level kecamatan sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk meminta bantuan TNI dalam operasi non-perang, apalagi pertanian. Militer adalah kekuatan khusus yang dilatih untuk melumpuhkan dalam situasi perang, sehingga pelibatan militer dalam aktivitas sipil, apalagi terkait dengan pengambilalihan lahan, sangat potensial memunculkan kekerasan kepada petani atau pemilik lahan. TNI tidak diberikan keahlian untuk melakukan operasi non-perang, sehingga pendekatan militeristik dan represif justru berbahaya bagi sipil (terutama petani atau warga) yang bersentuhan langsung dengan operasi tersebut,” paparnya.
HRWG mendesak Gubernur Sumatera Barat dan/atau Kementerian Dalam Negeri untuk mencabut Surat Edaran No.521/1984/Dintanhorbun/2017 tersebut karena bertentangan dengan UU TNI atau aturan yang lebih tinggi lainnya. Selain itu, menghentikan rencana tindak lanjut kerjasama antara pemerintah daerah di semua level, mulai dari kecamatan, kabupaten dan provinsi dengan Tentara Nasional Indonesia di semua level tersebut karena tidak memiliki dasar hukum.
“Mendesak Pemerintah Pusat memberikan peringatan kepada Pemerintah Daerah untuk mentaati undang-undang tentang pelibatan militer tersebut untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM, termasuk pula membatasi instruksi perbantuan ini hanya terbatas pada keputusan dan penetapan Presiden,” tutup Hafiz.
Baca Juga: Tentara 'Turun ke Sawah' Dinilai Rampas Paksa Hak Petani