Pelajaran Takwil Al Quran dari Kartini untuk Kelompok Intoleran

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 24 April 2017 | 06:00 WIB
Pelajaran Takwil Al Quran dari Kartini untuk Kelompok Intoleran
RA Kartini. (Istimewa)

Suara.com - "Bagi mereka yang menggunakan sepotong ayat untuk kepentingan sendiri, cobalah belajar pada Kartini," begitulah kalimat lama yang  kekinian  terasa mengena untuk warga DKI Jakarta maupun Indonesia yang tengah menghadapi terpaan badai disintegrasi dan intoleransi.

Sebab, ayat-ayat kitab suci kerap kali digunakan sebagai alat untuk kepentingan mengejar ambisi hingga ancaman intoleransi beragama terjadi.

Maka, memaknai cara Kartini untuk memahami ayat kitab suci terutama Al Quran, menjadi cara terbaik untuk bercermin.

Betapa tidak, meski Kartini adalah perempuan dalam sejarah masa lalu bangsa Indonesia yang bahkan harus mengalami pingitan di balik tembok, dan larangan menempuh pendidikan tinggi, mampu mendorong ayat-ayat kitab suci dimaknai secara baik.

Ketakjuban Kartini pada ayat Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 257, yang penggalannya berbunyi "Minadz-Dzulumaati ilan-Nuur", menjadi titik balik revolusi yang mengubah pandangan Barat kepada wanita Jawa yang selama itu dianggap lemah.

Kalimat itulah yang oleh Armin Pane diterjemahkan sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang” dalam buku terbitan Balai Pustaka.

Namun, apapun dan bagaimana pun cara ayat itu diterjemahkan, Kartini tetap mampu menjadikan kitab suci sebagai inspirasi.

Ia mendapati makna ayat tersebut sebagai inti dari dakwah Islam sebagai agama yang ia peluk. Melalui ayat itu, Kartini mengartikan bahwa agama yang membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk, hidayah atau kebenaran) atau "dari kegelapan menuju cahaya".

Perempuan yang kemudian diperistri oleh Bupati Rembang ke-7 Djojo Adiningrat itu, menjadikan ayat kitab suci sebagai pegangannya untuk sesuatu yang kini dikenal orang sebagai emansipasi.

Baca Juga: Man City Keok Lagi, Kali Pertama Guardiola 'Puasa' Gelar

Dalam suratnya kepada Nyonya Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini menulis:

"Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai."

Selain itu dalam surat ke Nyonya Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis: "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT."

Cara Kartini memahami ayat-ayat kitab suci menunjukkan bahwa kaum wanita bahkan dalam keadaan paling terbatas sekali pun, mampu mencapai makrifat tertinggi atau mengenal Tuhannya dengan sangat yakin.

Potensi Perempuan

Meski pernah mengalami masa-masa sulit, yakni hidup di zaman ketika perempuan sebagai "konco wingking" atau teman di belakang dalam dunia yang serba patriarkal, faktanya Kartini adalah sosok yang justru mendorong Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur'an terlahir.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI