Masuklah petinggi polisi//Siapkan lakukan interogasi//Kok Jaka menangis?//Padahal ia tidak bengis?//Jaka pemimpin demonstran//Aksinya picu kerusuhan//Harus didalami lagi dan lagi.
Apakah ia bagian konspirasi?//Apakah ini awal dari makar?//Jangan sampai aksi membesar?//Mengapa pula isu agama//Dijadikan isu bersama?//Mengapa pula ulama?//Menjadi inspirasi mereka?
Dua jam lamanya//Jaka diwawancara//Kini terpana pak polisi//Direnungkannya lagi dan lagi//Terngiang ucapan Jaka//Kami tak punya sawah//Hanya punya kata//Kami tak punya senjata//Hanya punya suara.
Kami tak tamat SMA//Hanya mengerti agama//Tak kenal kami penguasa//Hanya kenal para ulama//Kami tak mengerti//Apa sesungguhnya terjadi//Desa semakin kaya//Tapi semakin banyak saja//Yang bukan kami punya.
Kami hanya kerja//Tapi mengapa semakin susah?//Kami tak boleh diam//Kami harus melawan//Bukan untuk kami//Tapi untuk anak anak kami.
Pulanglah itu si Jaka//Interogasi cukup sudah//Kini petinggi polisi sendiri//Di hatinya ada yang sepi//Dilihatnya itu burung garuda//Menempel di dinding dengan gagah//Dilihatnya sila ke lima//Keadian sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kini menangis itu polisi//Cegugukan tiada henti//Dari mulut burung garuda//Terdengar merdu suara//Lagu Leo kristi yang indah, “Salam dari Desa”.
Terdengar nada: "Katakan padanya padi telah kembang, Tapi bukan kami punya.
Baca Juga: Harga BBM Tak Naik Jadi Beban Pertamina