Situs DPP Demokrat: Prabowo Harus Jujur, Benarkah Punya Bukti Menang?

Senin, 13 Mei 2019 | 09:22 WIB
Situs DPP Demokrat: Prabowo Harus Jujur, Benarkah Punya Bukti Menang?
Jansen Sitindaon (kiri depan), Rachland Nashidik (kanan depan), dan Andi Arief (di belakang Rachland) beserta para kader utama Partai Demokrat. (ist)

Pihak penyelenggara pemilu juga harus jujur, utamanya KPU dan Bawaslu. Banyaknya kasus salah hitung suara dalam C1 benarkah karena kekeliruan atau memang disengaja. Kasus-kasus suara yang telah dicoblos oleh petugas atau pihak lain, baik didalam maupun diluar negeri bagaimana penjelasannya, dan yang lebih penting bagaimana kasus-kasus itu diselesaikan? Respons KPU, Bawaslu dan kelak MK dalam menanggapi dan memproses semua aduan secara serius, jujur dan adil juga sangat diperlukan.

Kejujuran pihak-pihak lain juga diperlukan. Misalnya, apakah pihak yang saat ini habis-habisan mendesak Prabowo untuk tidak mengakui hasil pemilu, mendiskualifikasi Jokowi dan bahkan menyerukan revolusi dan “people power” itu benar-benar membela Prabowo, atau sasarannya yang penting pemerintahan Jokowi tumbang. Apapun jalan dan alasannya. Ini tentu dua hal yang berbeda. Satu memang untuk kepentingan Prabowo dan membela Prabowo untuk mendapatkan keadilan, kalau memang dia didzolimi. Sedangkan yang kedua lebih kepada kepentingan mereka, dan bukan kepentingan Prabowo. Banyak kalangan yang tidak rela jika Prabowo menjadi korban sia-sia.

Sementara, pihak-pihak yang mati-matian membentengi Jokowi, benar atau salah, juga harus jujur. Benarkah mereka tidak melakukan penyimpangan dan kesalahan yang mencoreng berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil, yang mungkin Jokowi sendiri tidak tahu, karena mereka ingin cari muka dan ingin mendapatkan balas jasa dalam pemerintahan mendatang? Atau mungkin juga mereka punya kepentingan dan agenda yang lain, yang belum tentu sama dengan agenda Jokowi sendiri. Contoh nyata, pada bulan Januari 2019 puluhan baliho yang ada foto SBY & Ani dan ratusan bendera Partai Demokrat dirusak dan dibuang ke parit dan jalanan di Pekanbaru. Diyakini tindakan kriminal yang diduga dilakukan oleh tangan-tangan kekuasaan itu diluar pengetahuan Jokowi. Sebuah sumber mengatakan bahwa Jokowi marah besar dengan ulah pihak tertentu yang “menyerang” dan melecehkan SBY, Presiden RI ke-6, seperti itu.

Demi rakyat, demi masa depan pemilu dan demokrasi kita yang lebih baik, pihak-pihak yang terlibat dan berperan dalam pemilu 2019 ini haruslah jujur. Kalau ini terjadi, lebih dari separuh persoalan yang kita hadapi akan dapat diselesaikan.

Saatnya pula para pemimpin dan elit politik bersikap kesatria.

Bersikap kesatria itu mulia. Termasuk kesatria dalam menerima hasil pemilu. Terutama yang kalah dalam kontestasi ini. Penerimaan hasil pemilu 2019 ini bagi yang kalah, dengan asumsi tidak ada penyimpangan dan kecurangan “maha besar” yang membuat cacatnya pemilu ini secara moral, legal dan politik, akan membulatkan akhir yang baik dari perhelatan demokrasi kita.

2 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 17 Februari 2017, ada peristiwa yang indah dan sekaligus bersejarah. Seorang tokoh muda, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang baru saja mengalami “pukulan keras” karena dalam “quick count” dia dinyatakan kalah telak dalam pemilihan gubernur Jakarta, telah memberi contoh tentang pentingnya sikap kesatria ini. AHY dan para pendukungnya terpukul karena menurut berbagai lembaga survey hingga akhir Desember 2016 masih diunggulkan, dalam kontestasi itu dikalahkan oleh Ahok-Djarot dan Anis-Sandi dalam margin yang besar. Hanya dalam hitungan jam, AHY bisa mengontrol emosi dengan pikirannya, dan kemudian menelpon para pesaingnya yang intinya mengucapkan selamat dan mengakui kekalahannya. Setelah itu secara resmi dia menyampaikan pernyataan kekalahannya di DPP Partai Demokrat Jakarta.

Sebenarnya pihak AHY, termasuk Partai Demokrat sebagai pengusung utamanya, merasakan bahwa dalam pilkada Jakarta tersebut ada tangan-tangan tidak kentara yang bekerja agar AHY kalah. Dia juga dipukul baik dari depan maupun dari belakang, karena dianggap kandidat yang harus dilumpuhkan secara bersama. Memori rakyat masih hidup atas dilakukannya pencidukan yuridis terhadap kubu AHY, termasuk turunnya Antasari untuk merusak suara AHY satu hari sebelum pemungutan suara. Tapi, semua itu tidak menghalang-halangi niatnya untuk tampil secara kesatria mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat kepada para pemenang.

Satu hal yang barangkali tidak diketahui publik, AHY mengambil sikap yang berisiko tinggi, ketika dia memilih untuk tidak mau terseret kedalam politik identitas. Faktor inilah yang membuat AHY tak ragu untuk menerima kekalahannya, sebab itulah risiko yang sudah diperkirakan sebelumnya bahwa dalam pilkada yang sarat dengan solidaritas identitas itu ternyata banyak yang memang tidak memilihnya.

Sebagai catatan pinggir, saat ini AHY “dibully” habis oleh pihak-pihak yang marah karena AHY bersedia memenuhi undangan Presiden Jokowi dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Tidak mewakili Partai Demokrat dan juga tidak merepresentasikan kubu Prabowo. Inisiatif untuk bertemu Presiden Jokowi bukan berasal dari dirinya dan juga jelas bukan dari SBY. AHY, yang juga “ber-DNA SBY” senantiasa menghormati pemimpinnya, Presiden Republik Indonesia, yang sedang mengemban tugas saat ini. Karenanya, dengan niat baik AHY memenuhi undangan itu karena dia juga meyakini bahwa Jokowi juga memiliki niat yang baik. AHY tahu bahwa pertemuan itu bakal menuai pro dan kontra, namun risiko itu nampaknya diambil tanpa keraguan apapun. Bagi pihak yang mengeluarkan sumpah serapah terhadap AHY saat ini berangkat dari pemikiran bahwa siapapun yang mengusung Prabowo harus mati-matian membela Prabowo tanpa reserve. Salah atau benar. Right or wrong.

Baca Juga: Hari Terakhir Pleno KPU Banten, Saksi Demokrat Walk Out

Menyusul pertemuan Jokowi-AHY tersebut, SBY yang sudah 3 bulan lebih ini mendampingi pengobatan isteri di Singapura juga kena hajar. Rencana Prabowo untuk menjenguk Ibu Ani dan bertemu dengan SBY tiba-tiba juga dibatalkan, padahal SBY sudah siap untuk menerima kunjungan itu dengan baik.

Ini juga pelajaran politik untuk kita semua. Terkadang bias dan ketidakadilan juga datang dari sesama kolega. Ketika ada tokoh partai lain pengusung Prabowo yang dengan inisiatifnya menemui Jokowi untuk agenda pemerintahan kedepan, tidaklah menjadi persolan besar. Tetapi tidak untuk AHY, dan juga Partai Demokrat. Meskipun AHY juga belum mengucapkan selamat kepada siapapun, termasuk Jokowi, karena sesuai yang disampaikan tanggal 17 April 2019 malam hari, jajaran Partai Demokrat masih menunggu pengumuman resmi dari KPU tetaplah dianggap tabu bagi AHY untuk bertemu dengan kubu Jokowi. Demokratpun sebenarnya juga tidak menghalang-halangi pihak Prabowo jika ingin melakukan aduan ke Bawaslu atas dugaan terjadinya kecurangan dalam pemilu ini. Inilah jiwa dan pikiran seorang konstitusionalis.

Demikian pikiran dan pandangan kami bertiga dalam kapasitas sebagai pribadi. Tidak mewakili Partai Demokrat, meskipun kami yakin ini pulalah jalan pikiran pemimpin Demokrat dan keluarga besarnya. Bagaimanapun Pemilu 2019 ini harus berakhir, kemudian bangsa ini “move on”. Harapannya tentu berakhir dengan baik, dan juga adil. Rakyat tidak boleh terombang-ambing. Kita semua yang menentukan. Menentukan masa depan bangsa, termasuk masa depan demokrasi dan pemilunya yang mesti lebih baik dan berkualitas.

*) Ketiganya adalah Kader Utama Partai Demokrat

Hingga berita ini disusun belum ada konfirmasi dari 3 kader utama Demokrat tersebut.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI