Ikan Asin, Kekerasan Simbolik Lelaki yang Merasa Pemilik Tubuh Perempuan

Rabu, 17 Juli 2019 | 14:38 WIB
Ikan Asin, Kekerasan Simbolik Lelaki yang Merasa Pemilik Tubuh Perempuan
[Shutterstock]

Dengan demikian, pernyataan Galih Ginanjar bukan hanya melecehkan seksualitas mantan istri, melainkan juga mengarah pada ujaran kebencian yang disebabkan oleh subjektivitas penilaian.

Artinya, subjektivitas Galih Ginanjar ketika menyerang pribadi seseorang bukanlah informasi yang mengandung keberimbangan sehingga menyesatkan.

Pablo Benua, Rey Utami dan Galih Ginanjar. [Instagram]
Pablo Benua, Rey Utami dan Galih Ginanjar. [Instagram]

“Galih juga mencederai seksualitas perempuan dengan mengatakan dirinya belum cukup puas dengan mantan istinya dan lebih sering masturbasi di kamar mandi dengan menonton video porno. Jelas sekali cara seperti ini menyerang ranah seksual,” tuturnya.

Namun, kata Anna, sayangnya sistem hukum di Indonesia belum memayungi kasus pelecehan verbal yang terjadi tanpa melibatkan sentuhan fisik.

Kalau merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pencabulan diartikan sebatas pada tindakan fisik secara langsung.

Kondisi ini menyebabkan banyak tindak pelecehan seksual yang tidak melibatkan sentuhan fisik luput dari jerat hukum. 

“Dalam kasus video ikan asin, ketiga tersangka hanya bisa dijerat dengan pasal UU ITE,” jelas Anna.

Kekerasan simbolik siber

Dalam dunia akademis, pelecehan secara verbal yang merusak psikologis pihak lain dinamakan kekerasan simbolik alias symbolic violence.

Baca Juga: Viral Pelecehan Perempuan Berjilbab di SPBU Malaysia

Anna menjelaskan, konsep kekerasan simbolik dicetuskan kali pertama oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis.

Menurut Bourdieu, bahasa tidak pernah bebas nilai. Ketika seseorang mengatakan sesuatu hal, orang yang menerima akan menangkap maksud yang berbeda.

Setiap kata dan setiap ekspresi memiliki ancaman yang dipahami oleh pengirim dan penerima pesan. Bourdieu melihat sistem simbolik melalui bahasa sebagai instrumen dominasi.

“Dalam setiap percakapan, terdapat pihak yang mendominasi dan didominasi. Pada kasus video ikan asin, Fairuz sebagai pihak yang didominasi karena dilecehkan, bukan hanya seksualitasnya, melainkan juga kepribadiannya: dituduh materialistis.”

Pada era kekinian, kekerasan simbolik yang ramai terjadi di dunia maya dapat dikategorikan sebagai kekerasan simbolik siber atau cyber simbolic violence.

“Istilah tersebut saya pakai untuk menjelaskan banyaknya fenomena kekerasan simbolik yang dialami perempuan di dunia maya, baik di kanal YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, maupun media daring lain,” kata Anna.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI