Antisipasi Banjir di Ibu Kota, Menabung Air Hujan Dengan Drainase Vertikal

Erick Tanjung Suara.Com
Rabu, 07 Oktober 2020 | 11:17 WIB
Antisipasi Banjir di Ibu Kota, Menabung Air Hujan Dengan Drainase Vertikal
Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) Jakarta Timur membuat drainase vertikal di Kelurahan Cipinang dalam rangka pegendalian banjir. [Antara/HO-Kominfotik Jaktim].

Pada zaman itu kanal penanggulangan banjir berupa sodetan Kali Ciliwung dibangun dan berlanjut dengan pembuatan Kanal Banjir Barat saat pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Johan Paul van Limburg Stirum berkuasa tahun 1918.

Fatchy mengemukakan banjir yang melanda Jakarta dipengaruhi perubahan tata ruang di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, yang menjadi hulu dari aliran air yang melintas menuju laut. Awalnya kawasan puncak adalah hutan yang mampu meresap 73 hingga 97 persen air, sementara yang terbuang ke hilir mencapai tiga hingga 27 persen.

Pemerintah Belanda mengubah kawasan itu sebagai perkebunan teh yang mengakibatkan resapan air ke dalam tanah semakin sedikit dan air yang mengalir atau terbuang semakin besar. Lahan budidaya meresap 50-70 persen air dan sisanya 30-50 persen menjadi terbuang.

Seiring dengan pesatnya perkembangan kota, muncul bangunan-bangunan baru di kawasan Puncak berupa vila dan area rekreasi. Kemudian di Depok dan sekitarnya muncul bangunan sedang dan kawasan permukiman.

Begitu pula di DKI Jakarta yang semakin padat permukiman imbas urbanisasi yang membuat resapan air menjadi terbalik dari kondisi awal. Perkotaan hanya meresap tiga hingga 27 persen air, sementara yang terbuang 73-97 persen.

Akhirnya persediaan air tanah habis karena tidak ada yang masuk ke dalam tanah dan justru mengalir ke drainase kota. Drainase kota di DKI Jakarta saat ini dirancang untuk menampung debit air hujan secara maksimal mencapai 120 mm/hari.

Dilansir dari data Masyarakat Air Indonesia, Jakarta telah diterjang sedikitnya delapan kali hujan ekstrim yang memicu banjir sejak 1996 hingga 2020 akibat luapan drainase kota.

Hujan ektrem di Jakarta pernah terjadi pada 1996 dengan intensitas 216 mm/hari, 2002 mencapai 168 mm/hari, 2007 mencapai 340 mm/hari, 2008 mencapai 250 mm/hari.

Pada 2013 mencapai 100 mm/hari, 2015 mencapai 277 mm/hari, 2016 mencapai 250 mm/hari dan 2020 mencapai 377 mm/ hari.

Baca Juga: Ridwan Kamil Semprot Warganet yang Bandingkan Dirinya dengan Anies

Drainase vertikal

Dalam upaya penanggulangan banjir, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya, antara lain pengerukan saluran, pembuatan waduk, kesiapan operasional pompa dan sebagainya.

Namun hal itu belum cukup, masih diperlukan kolaborasi dengan masyarakat salah satu bentuknya adalah membuat pola drainase vertikal atau sumur resapan.

Sumur resapan adalah konsep pengendalian air yang telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak puluhan tahun silam melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 68 Tahun 2005 tentang Perubahan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 115 Tahun 2001 mengenai Pembuatan Sumur Resapan.

Dengan membuat drainase vertikal, masyarakat bisa menabung air hujan. Kalau di rumah tidak punya pekarangan yang luas, ajak tetangga untuk sama-sama membuat drainase vertikal.

Cara membuatnya cukup sederhana, pertama buat lubang pada tanah, usahakan menggali tidak sampai keluar air. Perkuat dinding sumur menggunakan penahan batu bata dengan celah satu ruas jari.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI