Akhirnya persediaan air tanah habis karena tidak ada yang masuk ke dalam tanah dan justru mengalir ke drainase kota. Drainase kota di DKI Jakarta saat ini dirancang untuk menampung debit air hujan secara maksimal mencapai 120 mm/hari.
Dilansir dari data Masyarakat Air Indonesia, Jakarta telah diterjang sedikitnya delapan kali hujan ekstrim yang memicu banjir sejak 1996 hingga 2020 akibat luapan drainase kota.
Hujan ektrem di Jakarta pernah terjadi pada 1996 dengan intensitas 216 mm/hari, 2002 mencapai 168 mm/hari, 2007 mencapai 340 mm/hari, 2008 mencapai 250 mm/hari.
Pada 2013 mencapai 100 mm/hari, 2015 mencapai 277 mm/hari, 2016 mencapai 250 mm/hari dan 2020 mencapai 377 mm/ hari.
Dalam upaya penanggulangan banjir, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya, antara lain pengerukan saluran, pembuatan waduk, kesiapan operasional pompa dan sebagainya.
Namun hal itu belum cukup, masih diperlukan kolaborasi dengan masyarakat salah satu bentuknya adalah membuat pola drainase vertikal atau sumur resapan.
Sumur resapan adalah konsep pengendalian air yang telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak puluhan tahun silam melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 68 Tahun 2005 tentang Perubahan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 115 Tahun 2001 mengenai Pembuatan Sumur Resapan.
Dengan membuat drainase vertikal, masyarakat bisa menabung air hujan. Kalau di rumah tidak punya pekarangan yang luas, ajak tetangga untuk sama-sama membuat drainase vertikal.
Baca Juga: Ridwan Kamil Semprot Warganet yang Bandingkan Dirinya dengan Anies
Cara membuatnya cukup sederhana, pertama buat lubang pada tanah, usahakan menggali tidak sampai keluar air. Perkuat dinding sumur menggunakan penahan batu bata dengan celah satu ruas jari.