Suara.com - Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai akhirnya angkat bicara di tengah gelombang kritik publik terhadap pernaytaan kontroversial sejawatnya Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyangkal adanya pemerkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998.
Namun, pernyataan Pigai justru mengundang lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, terutama bagi para penyintas dan aktivis yang menuntut kejelasan soal kejahatan kemanusiaan dalam Tragedi Mei 1998.
Pigai, yang dikenal sebagai mantan aktivis HAM, memilih narasi yang sangat hati-hati.
Ia mengakui eksistensi peristiwa kerusuhan 1998 secara umum.
Tapi dia secara konsisten menolak untuk membahas detail spesifik mengenai pemerkosaan massal yang menjadi inti polemik.
Saat ditemui setelah berdialog dengan masyarakat di Desa Kuta, Lombok Tengah, pada Jumat (20/6/2025), Natalius Pigai menggunakan metafora untuk menjelaskan posisinya.
Ia menekankan bahwa peristiwa tersebut harus dilihat dari berbagai sudut pandang.
"Saya mau sampaikan kerusuhan 1998 itu peristiwanya ada atau tidak ada? Peristiwanya ada," kata Pigai.
Namun, ia melanjutkan, "Tapi seperti apa? harus dilihat dari delapan penjuru mata angin. Jadi kalau dibilang peristiwa itu ada enggak, peristiwa huru-hara 1998 itu ada."
Baca Juga: Anies Baswedan Menentang Fadli Zon soal Tragedi Pemerkosaan 98: Jangan Lupa Sisi Kelam Sejarah...
Pernyataan ini tampak seperti penegasan ganda. Di satu sisi, ia secara tegas mengonfirmasi bahwa kerusuhan Mei 1998 bukanlah fiksi.
Sementara di lain sisi, dengan frasa "tapi seperti apa?" dan "delapan penjuru mata angin," ia membuka ruang interpretasi yang luas dan terkesan menghindari validasi terhadap fakta kekerasan seksual sistematis yang telah didokumentasikan.
Pigai berulang kali merujuk pada pengakuan Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, dan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sebagai dasar legitimasinya.
"Sebagai menteri HAM, peristiwa ada. Tapi seperti apa? Harus di lihat dari delapan sudut pandang. Saya tak perlu banyak bicara. Peristiwanya ada karena Presiden Habibie pernah mengatakan hasil penyelidikan oleh pemerintah juga dicatat," tegasnya.
Ironis, laporan TGPF yang ia jadikan rujukan justru memuat data spesifik mengenai kekerasan seksual yang terjadi.
Namun, Pigai memilih untuk berhenti pada pengakuan eksistensi peristiwa secara makro.