“Kami tidak ingin mereka mengamandemen apapun terkait monarki,” kata Samutprakan Chun, 58, seorang demonstran pro-kerajaan.
“Monarki adalah pemberian surga, sementara kita ada di bawah di neraka, kita jauh di bawah mereka, kita harus mengenal tempat kita.”
Kekuasaan monarki merupakan isu sensitif di Thailand. Aksi demonstrasi antipemerintah yang awalnya mengarah kepada PM Prayuth, kian bergeser menjadi aksi protes terhadap kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn.
Sejak berkuasa pada 2016, Vajiralongkorn dikabarkan lebih banyak memerintah dari Jerman, dan hanya datang ke Thailand untuk kunjungan singkat atau menghadiri acara seremoni.
Tapi belakangan, dia terlihat lebih aktif tampil di media, termasuk bersedia diwawancara awal November lalu. Saat itu dia mengatakan Thailand adalah “negeri kompromi” ketika ditanya soal aksi protes yang berkecamuk.
Pernyataannya itu disikapi sebagai indikasi bagi arah proses legislasi di Bangkok. Parlemen diyakini akan mencari jalan tengah antara tuntutan demonstran, kepentingan militer dan monarki. Namun kelompok pro-demokrasi belum siap menerima konsensus yang mencederai tuntutan utama mereka.
“Tanpa rakyat, pemerintah dan monarki tidak punya kekuasaan,” kata Panusaya Sithijirawattanakul, salah seorang pemimpin protes.
“Apakah mereka bersedia mengambil langkah mundur atau menemukan konsensus yang bisa kami sepakati?” rzn/vlz (ap, rtr, bangkokpost)
Baca Juga: Tekan Covid, Satgas Minta Indonesia Belajar dari Thailand dan Singapura