Tim ini berhasil menjadikan sang presiden terus relevan dengan warganya dan bagi masyarakat dunia, melalui apa yang disampaikannya, tonasi dan penekanannya, sikap dan perilakunya, serta dari traffic informasinya yang didukung oleh media massa dan media sosial.
Ini semua berkontribusi pada keberhasilan kebijakan, program kerja, posisi politik, atau misi apa pun yang ingin dipromosikan presiden.
Namun demikian, kita semua dapat berasumsi bahwa hal di atas adalah wajar. Sungguh normatif bagi seorang pemimpin negara adidaya untuk ditopang oleh sebuah sistem kerja yang solid dan disiapkan oleh para ahli publikasi dengan matang, agar dapat tampil begitu bijaksana, meski sebagai pembuat kebijakan tertinggi ia pasti berada di tengah dinamika situasi yang sangat tinggi.
Kontra-Diplomasi ala Trump
Tetapi ternyata, kemapanan protokol dan kesakralan komunikasi negara ini bukannya tidak bisa didobrak dan bahkan dijungkirbalikkan.
Sang aktor utama komunikasi, dalam hal ini presiden, bukannya tidak bisa melakukan terobosan pribadi, bersikap spontan, dan kerap kali bahkan lepas konteks dengan pernyataan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Konsep bahwa informasi haruslah teruji kebenarannya, komunikasi harus logis dan terintegrasi antar pelaksana negara, atau pesan perlu disampaikan secara jelas tanpa ambigu dengan pendekatan yang santun-berbobot ala negarawan, tampaknya tidak berlaku di sepanjang empat tahun belakangan ini.
Adrenalin melonjak lebih tinggi jika kita melihat gaya kehumasan di era Presiden Donald Trump. Tiap detil kegiatan komunikasi publiknya berkontribusi mengubah wajah Amerika Serikat, menjadi sama sekali berbeda dari yang selama ini dikenal dunia.
![Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenakan masker kunjunganya ke Pusat Kesehatan Militer Nasional Walter Reed di kawasan Washington, Amerika Serikat. [ALEX EDELMAN / AFP]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/13/26909-donald-trump-pakai-masker.jpg)
Tim komunikasi Gedung Putih berubah menjadi bagian dari sebuah mesin propaganda besar, yang sayangnya kerap lemah dalam argumennya dan kesulitan untuk mendudukkan sebuah isu: apakah untuk kepentingan bangsa, atau untuk kepentingan politik pribadi Presiden.
Baca Juga: Mengapa Keamanan di Gedung Capitol Bisa Ditembus?
Pendekatan yang mereka gunakan sebetulnya bukan hal baru, tetapi rupanya tidak pernah usang dan selalu berhasil menyentuh hati untuk membentuk loyalitas buta; yaitu fear communication yang dengan sengaja dirancang untuk menakut-nakuti warga, merendahkan kepercayaan diri atas kemunduran bangsa, menebarkan kekhawatiran bahwa negara akan runtuh, memercikkan kecurigaan akan segala sesuatu dan siapa pun pihak yang akan mengusik status quo para warga (terutama kulit putih), membangun ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain atau yang dianggap asing, yang berarti memvalidasi xenophobia.