Terkadang memang tak melulu harus turun ke jalan, sebagian warga merayakan 1 Desember dengan melakukan ibadah puasa.
Masih berkaitan dengan kemerdekaan, sambil menyulut api ke batang rokok kedua, satu-dua meneguk kopi yang tersedia, Ambros melanjutkan ceritanya. Ia bilang orang-orang Papua hingga 76 Indonesia merdeka tidak punya ruang demokrasi.
Bukan baru terjadi kemarin sore. Ambros menyebut hal itu sudah terjadi dan diawali sejak adanya perjanjian New York 15 Agustus 1962 berlanjut kepada Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA).
"Jadi hal-hal itu bisa menggambarkan rasa nasionalisme orang Papua terus rasa memiliki 17 Agustus dipertanyakan. Karena bukan karena kami jengkel atau kami ingin merdeka, tidak. Tapi dari sejarah sudah menjelaskan," kata Ambros.
Dalam konteks kekinian, Ambros mengaku dilema dengan demokrasi di Indonesia. Bukan apa-apa dia bilang, baru saja akan menggelar diskusi, melakukan aksi kemudian langsung dituduh sebagai separatis dan dan teroris bahkan mendapatkan perlakuan represi.
Baru-baru ini sejumlah pihak menggelar aksi di berbagai wilayah seperti di Manokwari, Jaya Pura, Sorong, Ambon, Malang, Surabaya dan Makassar. Mereka coba menyampaikan aspirasi menuntut pembebasan Victor Yeimo dan mendeklarasikan hari rasisme dan refleksi dua tahun rasisme yang terjadi di Surabaya dan Malang pada 2019 lalu.
Namun, kata dia, apa yang teman-teman Papua dapatkan justru bukan aspirasi yang didengar, malah tindakan represi yang diterima. Sejumlah orang disebutkan Ambros mengalami luka-luka --kepala pecah bahkan ada yang ditembak-- akibat perlakuan represif aparat.
Belum lagi, dirinya lanjut bercerita soal pengalamannya melakukan aksi di Jakarta. Beberapa waktu lalu ia bersama teman-teman mahasiswa Papua melakukan aksi tolak RUU Otonomi Khusus Jilid II, namun ia menyebut aksi tersebut dibubarkan.

Ia mengatakan, aparat terkesan selalu mengerahkan milisi berupa organisasi masyarakat (ormas) untuk menganggu jalannya mahasiswa Papua menggelar aksi. Padahal, kata dia, jika ruang demokrasi itu ada, baik ormas maupun mahasiswa Papua diberikan saja fasilitas masing-masing untuk menyampaikan aspirasinya.
Baca Juga: Baku Tembak di Ilaga, TPNPB-OPM Sebut TNI-Polri Telah Bakar Rumah-rumah Warga
"Karena setiap orang berhak menyampaikan hak, menyampaikan pendapatnya. Justru ini tidak, malah kami diganggu-ganggu spanduk kami diambil. Atau dengan alasan harus rapid tes segala macam kami diangkut," tuturnya.