Suara.com - Para pelaku usaha perhotelan di Kota Mataram menyuarakan keprihatinan mereka terkait penerapan kewajiban pembayaran royalti atas pemutaran musik.
Sejumlah hotel telah menerima surat tagihan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sejak bulan lalu, menimbulkan keresahan akibat nominal dan sanksi yang dinilai memberatkan.
General Manager Grand Madani Hotel, Rega Fajar Firdaus, mengonfirmasi penerimaan tagihan tersebut.
“Kalau tagihan sendiri memang betul ya termasuk hotel saya Grand Madani hotel itu sejak bulan Juli kemarin sudah dikirimkan tagihan dari LMKN,” katanya pada hari Rabu (12/8/2025). Hotel yang ia pimpin menerima tagihan sekitar Rp4 juta.
Keresahan para pengusaha memuncak karena adanya ancaman sanksi pidana bagi yang tidak mematuhi.
Pelaku usaha yang dianggap tidak kooperatif dapat dihadapkan pada sanksi pidana 10 tahun dan denda mencapai Rp 4 miliar.
"Di situlah yang membuat para pengusaha ini gusar karena ada pemidanaan ini kenapa harus ada pidana gitu kan,” ujar Rega.
Aturan mengenai royalti ini sejatinya telah diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No: HKI.2.OT.03.01 Tahun 2016, yang mewajibkan pembayaran royalti untuk penggunaan musik di ruang publik untuk tujuan komersial.
Meskipun mengakui adanya dasar hukum, para pelaku usaha menyayangkan sosialisasi yang baru dilakukan pada Juni, yang segera disusul dengan surat tagihan.
Baca Juga: Hotel hingga Restoran Sepi Lagu, PHRI Sindir Pemerintah: Kok Dilepas ke LMKN?
“Saya sudah pernah diajak sosialisasi dari kantor kemenkumham bulan Juni tanggal 26 kalau enggak salah itu memang ada aturanya tertulis memang ada tagihan untuk royalti. Cuma entah kenapa kok baru sekarang ini kok baru diasosiasikan terus langsung muncul tagihan,” ungkapnya.
Dasar perhitungan tagihan juga menjadi pertanyaan. Rega menyoroti bahwa hotel kelas melati yang tidak memiliki fasilitas TV di kamar pun turut menerima surat tagihan, menimbulkan kebingungan.
“Bagaimana kalau di hotel yang tidak ada TV atau musik-musik nah dia tetap dari LMKN bersikeras bahwa di lobinya ada musik. Betul masih agak simpang siur sih kalau kita lihat terutama hotel hotel yang kelas bintang satu atau kelas melati ada yang di kamar enggak ada TV ada yang disurati juga ditagih juga,” jelasnya.
Dengan ketidakjelasan ini dan adanya anggota asosiasi hotel yang telah menerima somasi, para pengusaha berharap pemerintah dapat turun tangan.
“Mungkin hotel ini menolak membayar atau keberatan sudah menyampaikan keberatannya sehingga disomasi dari pihak LMKN ini,” tegas Rega.
Ia menekankan perlunya mediasi dari pemerintah untuk mengatasi persoalan yang memberatkan industri perhotelan ini.